Perlu membekali guru dengan pemahaman pencegahan terorisme melalui penguatan moderasi beragama di sekolah.
Tarakan (Partaipandai.id) – Lembaga pendidikan dan media sosial di era digital ini menjadi dua wilayah yang diperebutkan oleh kelompok teroris radikal karena dianggap sangat efektif dalam mentransformasi paham dan merekrut anggota.
Penjara.
“Sehingga perlu membekali guru dengan pemahaman pencegahan terorisme melalui penguatan moderasi beragama di sekolah,” ujarnya dalam acara “Training of Trainer Menjadi Pelopor Guru Moderasi Beragama”, di Kabupaten Bulungan, Kaltara oleh BNPT dan Kaltara Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT).
Untuk mengisi ruang edukasi juga perlu terus dilakukan kontra-narasi di ruang digital, sehingga acara disusun dengan kompetisi “Membuat Bahan Ajar Berupa Video Singkat Sosiodrama Moderasi Keagamaan” .
“Terorisme merupakan ancaman nyata bagi perdamaian di Indonesia. Kelompok teroris hidup bermasyarakat, berbaur dalam keseharian kita, bahkan tidak mungkin ada di tengah-tengah lembaga pendidikan, sehingga kita harus selalu waspada,” ujarnya dalam sambutan tertulis dibacakan oleh Maira Himadhani, Subkoordinator Partisipasi Masyarakat BNPT.
Hal itu, katanya lagi, menuntut agar semua pihak dalam pencegahan paham kekerasan ini mengutamakan kewaspadaan, tidak hanya untuk alasan keamanan, tetapi juga untuk mencegah meluasnya paham radikal terorisme tersebut.
BNPT sebagai lembaga negara yang memiliki mandat untuk melakukan penanggulangan terorisme dengan mengkoordinir seluruh kementerian dan lembaga yang terus menekan kejahatan luar biasa ini.
“Upaya kami tidak hanya melalui penindakan yang tegas, tetapi juga dengan menjalankan program-program yang bersifat ‘soft approach’ atau penanganan yang lunak,” ujarnya dalam acara yang melibatkan sekitar 100 guru dari berbagai jenjang sekolah tersebut.
“Kegiatan yang kita lakukan hari ini merupakan bentuk penanganan terorisme secara lembut dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, terutama melalui partisipasi aktif para pemangku kepentingan pendidikan,” ujarnya.
Sholehuddin MPd, dosen FIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, pembicara pada acara tersebut, mengamini bahwa saat ini terjadi perebutan wilayah ruang media sosial dan ruang pendidikan baik bagi pelaku kekerasan maupun upaya pencegahannya.
Bahkan, kata dia lagi, khusus ruang media sosial lebih didominasi oleh ide-ide sesat ketimbang konten pendidikan.
“Apa hubungannya dengan guru, karena jika guru mengisi ruang media sosial ini, maka tentunya lebih dipercaya karena statusnya sebagai pendidik,” ujar Sholehuddin.
Ia mengungkapkan potensi indeks radikalisme berdasarkan survei nasional BNPT 2020, dari akses internet 75,5 persen kelompok Gen Z (lahir 1981-2000) mencapai 93 persen, Gen Milenial (1981-2000) 85 persen, dan Gen X (1965). -1980) 54 persen.
Dari data tersebut, peran guru sangat strategis, karena kelompok yang rentan terpapar adalah anak usia sekolah.
“Selain itu, mengapa ruang pendidikan sangat krusial dalam mencegah radikalisme? Karena dari hasil riset tahun 2019 tercatat 49,60 persen pendidikan agama berasal dari guru, bukan dari orang tua atau keluarga,” ujarnya lagi.
Cukup mengejutkan ia menyampaikan hasil survei BNPT-FKPT 2019 di Kaltara. Ternyata provinsi berpenduduk sekitar 700.000 jiwa ini memiliki potensi radikalisme dengan skor 40,28, dari pemahaman dengan skor 49,73, sikap dengan skor 53,85, dan tindakan dengan skor 17,25.
Artinya, dengan skor pemahaman dan sikap yang cukup tinggi, diperlukan pemicu atau pemantik agar radikalisme tinggi terjadi, dari awal hanya skor 17,25 di Kaltara, ujarnya juga.
“Maka langkah BNPT dan FKPT untuk menggelar berbagai strategi pencegahan radikalisme dan terorisme, termasuk aktif hari ini, sangat tepat,” ujar Sholehuddin yang juga Direktur Pusat Studi Moderasi Keagamaan.
Baca juga: Tahun politik, potensi radikalisme dan pencegahan
Baca juga: BNPT bekerjasama dalam pencegahan terorisme dengan Garuda Indonesia
Reporter: Susylo Asmalyah
Editor: Budisantoso Budiman
Redaksi Pandai 2022