Jakarta (Partaipandai.id) – Kepala Departemen Ekonomi CSIS Fajar Hirawan mengatakan cloud computing dapat meningkatkan efisiensi layanan publik dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, Fajar menilai, untuk benar-benar memanfaatkan potensi tersebut awan dalam meningkatkan pelayanan publik Indonesia dan sepenuhnya meningkatkan pembangunan ekonomi negara, pemerintah harus menciptakan lingkungan peraturan yang kondusif untuk awan.
“Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pemahaman di kalangan pejabat pemerintah tentang keamanan dan perlindungan data di awan; menerapkan mekanisme akuntabilitas data dan mengembangkan kerangka klasifikasi data; dan mencegah potensi konflik antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Fajar dalam keterangan pers, Selasa.
Lebih lanjut dia menambahkan, pemerintah juga harus menyusun strategi awan dan rencana adopsi yang sehat dan dapat diterapkan.
“Ini dapat diimplementasikan dengan mengidentifikasi prioritas dan mendefinisikan ruang lingkup migrasi awan pemerintah; mulai dengan proyek percontohan kecil dan tidak perlu membuat yang baru dari awal; dan membangun fondasinya awan kuat dan unit koordinasi baru untuk awan,” jelasnya.
Baca juga: Pasar layanan cloud publik China diperkirakan akan tumbuh pesat
Menurut sebuah studi dari CSIS, hanya 30 persen, dari 169 lembaga publik yang disurvei, menunjukkan bahwa mereka telah menggunakan layanan ini awandengan terendah berada di sektor kesehatan atau rumah sakit (8,8%) dan pemerintah daerah (25%).
Namun, prospek adopsi awan Sektor publik Indonesia cukup cerah, karena hampir 40 persen organisasi publik berencana menggunakannya di masa depan.
CSIS mencatat bahwa lembaga publik yang menggunakan awan telah memperoleh berbagai manfaat seperti pengurangan biaya, peningkatan efisiensi dan produktivitas, kelincahan dan skalabilitas, serta ketahanan.
Lebih dari 27 persen dan hampir 10 persen, lembaga publik yang menggunakan awan menunjukkan bahwa lembaga mereka melihat penghematan biaya masing-masing sekitar 0-10% dan 11-20%.
Setelah adopsi awanjumlah aplikasi yang dikembangkan dalam satu tahun meningkat dari hampir 4 aplikasi menjadi lebih dari 6 aplikasi dan rata-rata waktu yang dihabiskan orang untuk mengakses aplikasi meningkat dari sekitar 7 jam menjadi lebih dari 8 jam.
Studi ini juga menunjukkan bagaimana rata-rata waktu henti yang tidak direncanakan per bulan menurun dari 3,7 jam menjadi 0,5 jam dan jumlah insiden waktu kritis menurun dari hampir 2 kali per bulan menjadi 0, 3 kali per bulan.
Sementara itu, insiden keamanan per bulan juga mengalami penurunan dari 1,7 jam per bulan menjadi 0,6 jam per bulan.
Studi menunjukkan, adopsi awan di sektor publik Indonesia juga bermanfaat bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Adopsi awan di lembaga publik diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan PDB negara sebesar 0,03-0,37 poin persentase atau setara dengan tambahan PDB sebesar Rp35 triliun.
Komputasi awan juga meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 hingga 0,08 poin persentase, atau menciptakan hingga 95 ribu lapangan kerja baru.
Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan penurunan ICOR sekitar -0,1 hingga -1,23 poin persentase, yang menyiratkan peningkatan efisiensi dalam perekonomian secara keseluruhan.
Terlepas dari potensi manfaat ini, adopsi komputasi awan di sektor publik Indonesia menghadapi beberapa kendala dan tantangan serius.
Faktor penghambat tersebut antara lain kesalahan persepsi tentang risiko keamanan dan masalah privasi data, ketidakpastian regulasi dan dukungan hukum, sistem pengadaan di pemerintahan, serta kurangnya keterampilan dan infrastruktur pendukung. pita lebar.
Misalnya, mayoritas non-pengguna dan pengguna cloud (atau lebih dari 55 persen dan hampir 65 persen masing-masing) menyebutkan kekhawatiran tentang keamanan data dan privasi sebagai faktor utama yang mencegah atau membatasi mereka menggunakan cloud.
Sementara itu, hambatan ketidakpastian tentang undang-undang dan peraturan yang ada ditunjukkan oleh 33 persen non-pengguna yang mewakili lebih dari 25 persen pengguna cloud dan hambatan ini juga sebagian besar terkait dengan persepsi risiko keamanan dan masalah perlindungan data.
CSIS menilai Indonesia perlu kembali mendukung regulasi yang ada, seperti PP No. 71/2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5/2020 untuk menyelaraskan dengan praktik terbaik internasional untuk memfasilitasi adopsi teknologi cloud di sektor publik.
“Kebijakan yang disusun perlu menyediakan ekosistem yang memudahkan untuk berinovasi dan memastikan keamanan dan pergerakan data yang stabil dan baik,” ujarnya.
Baca juga: Blackvue merilis dashcam 4K berbasis cloud dan perilaku driver pelacakan AI
Baca juga: Scrut Automation meluncurkan ‘Manajemen Risiko’ untuk perusahaan berbasis cloud
Baca juga: Indosat Ooredoo-VOXOX Hadirkan Cloud Voice untuk Memberdayakan UMKM
Wartawan: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Maria Rosario Dwi Putri
Redaksi Pandai 2022