loading…
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya menggelar sidang promosi doktor, Silva Liem sebagai Promovenda. Foto/Unika Atma Jaya.
Silva Liem adalah pemerhati masalah Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) yang pernah dipercaya oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), UNICEF, Water.org., dan USAID yang berhasil mempublikasikan karya dan berperan sebagai reviewer di Scopus indexed International Journal seperti American Journal of Health Promotion (Q1); Journal of Water, Sanitation, and Hygene for Development (Q2), Children and Society (Q2).
Dia menyampaikan disertasi berjudul “Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kendali, dan Promosi Kesehatan terhadap Intensi Implementasi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dengan Intensi sebagai Mediator”.
Penelitian yang dilakukan Silva bertujuan untuk menelaah apakah faktor internal seperti sikap, norma subyektif, dan persepsi kendali, maupun faktor eksternal misalnya promosi kesehatan, mampu berkontribusi terhadap niat individu untuk stop BABS maupun tindak untuk mewujudkan niatnya tersebut.
Baca juga: Sidang Promosi Doktor Unika Atma Jaya: Keaslian Translinguistik Berperan Penting di Karya Sastra
“Saya berpikir bukan hanya perilaku BABS yang perlu kita edukasikan, tapi juga termasuk alternatif lain apa yang bisa ditawarkan bagi mereka dengan kondisi finansial yang kurang mampu. Kita bisa merangkul para tokoh agama sebagai perantara dalam menyampaikan informasi mengenai sanitasi air”, ungkap Doktor baru yang juga pemerhati masalah Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) itu.
Umumnya, BABS merupakan perilaku yang tidak sehat, memalukan, bahkan melanggar norma agama. Namun untuk kelompok masyarakat yang diteliti Silva, perilaku BABS menawarkan kenyamanan, kesempatan bertemu dengan teman, juga manfaat ekonomis, termasuk menghemat pakan ikan dan biaya membangun WC.
Terlepas dari manfaat tersebut, BABS juga dikaitkan dengan kesehatan dan status gizi anak, khususnya pada masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Upaya Pemerintah menurunkan angka kejadian stunting dihadapkan pada setidaknya tiga kendala: Pertama, persepsi masyarakat tentang postur pendek anak-anak yang diyakini sebagai “bawaan dari sana nya.
“Kedua, istilah stunting yang kurang familiar di telinga masyarakat, dan ketiga, dampak BABS sebagai faktor risiko stunting masih terbatas pada kajian ilmiah dan belum banyak tersampaikan kepada masyarakat umum,” tambahnya.