Yogyakarta (Partaipandai.id) – Malam itu, puluhan anak muda berkumpul di kawasan Titik Nol Kilometer, Kota Yogyakarta.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mereka, kecuali terus membagikan bunga mawar kepada setiap orang yang melewati pusat Kota Gudeg.
Meski bungkam, setidaknya ada sejumlah poster dengan pesan yang mereka bawa, antara lain “Pemilihan Tanpa Hoaks”, “Pemilihan Tanpa Intimidasi”, dan “Apapun pilihannya, Anak Muda Tetap Bekerja”.
Aksi bisu pada 27 Oktober 2018 ini digagas Edward bersama sejumlah aktivis muda yang tergabung dalam Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), sebagai simbol untuk mendorong pemilu 2019 berjalan damai.
Edward mengakui, sebagian anak muda di Yogyakarta saat itu khawatir dengan menguatnya polarisasi sosial menjelang pemilihan umum 2019, yang mempertemukan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ia mengenang betapa kelamnya masa itu karena masing-masing kubu saling melempar isu tidak sehat bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dibumbui hoax dan ujaran kebencian, sehingga membuat sebagian masyarakat semakin terpecah.
Di dunia maya, pelabelan dengan kata “kecebong” dan “kampret” turut mewarnai panasnya politik, meski Pilkada 2019 telah usai.
Pria bernama lengkap Edward Trias Pahlevi ini tidak ingin kejadian serupa terulang kembali menjelang Pemilu 2024. Jika gejala polarisasi mulai menguat kembali, ia bertekad turun ke jalan lagi, mengajak anak muda untuk melakukan aksi serupa.
Meski sejumlah gejala mulai tampak, ia optimistis fenomena perpecahan masyarakat sebagai ekses pemilu mendatang bisa dicegah, atau setidaknya bisa ditekan agar tidak separah sebelumnya.
Kuncinya, upaya mitigasi dan pencegahan harus dilakukan sejak dini dengan menumbuhkan kesadaran bersama bahwa pemilu hanyalah alat atau sarana untuk memilih seorang pemimpin, tanpa mengorbankan keharmonisan yang telah tercipta selama ini.
KISP yang lahir di Yogyakarta pada April 2018, awalnya dibentuk Edward bersama sejumlah mahasiswa di Kota Gudeg untuk membuat gerakan bersama mencegah politik uang yang merajalela di setiap pemilu. Namun, fenomena polarisasi yang muncul pada pemilu 2019 membuat lembaga tersebut memperluas fokus gerakan.
Selain mengajak masyarakat untuk menolak politik uang, mereka juga berusaha mendidik masyarakat untuk dewasa dalam berdemokrasi, agar tidak terjerumus ke jurang perpecahan hanya karena pesta demokrasi.
Peta naratif
Berdasarkan pantauan Drone Emprit selama tiga bulan terakhir tahun 2022, peta dan pola narasi yang dibangun di media sosial untuk Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2019.
Drone Emprit adalah sistem yang memantau dan menganalisis media sosial dan platform online berdasarkan besar data menggunakan keahlian kecerdasan buatan dan proses belajar alami (NLP).
Seperti halnya Pemilu 2019, perbincangan politik pengguna media sosial jelang Pilpres 2024 belum mengarah pada minat untuk memperdebatkan ide atau program, melainkan masih menyerang pribadi atau tokoh pribadi yang berpotensi untuk dipromosikan pada 2024.
Belajar dari pemilu sebelumnya, Lead Analyst Drone Emprit Rizal Nova Mujahid mengatakan, diskusi politik saat ini diperkirakan akan menguat ketika semua calon presiden dan wakil presiden resmi mendaftar ke KPU pada Oktober 2023.
Berdasarkan data tersebut, Rizal tidak yakin polarisasi akan hilang pada Pemilu 2024. Apalagi narasi yang muncul masih bernuansa rasial, dengan sebagian besar pengguna media sosial adalah kaum milenial atau berusia 25-34 tahun.
Namun, masih sedikit harapan agar arus polarisasi dapat diminimalisir mengingat kehadiran Generasi Z berusia 13-23 tahun yang turut mewarnai perbincangan di media sosial. Menurut pengamatan Drone Emprit, generasi ini cenderung kritis dan tidak tertarik dengan percakapan bernuansa SARA seperti pendahulunya.
Partisipasi Generasi Z di media sosial, menurut Rizal, mencapai 8,2 persen dengan mayoritas menggunakan media sosial platform yang baru yaitu Tiktok dan Instagram. Sementara itu, pengguna milenial berusia 25-34 tahun mencapai 14,9 persen, sebagian besar menggunakan Facebook, Twitter, dan Instagram.
Demokrasi dewasa
Agar potensi polarisasi jelang Pemilu 2024 bisa ditekan, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) yang dikomandoi Edward bergerak cepat agar tidak ketinggalan start.
Sejak awal tahun 2022, lembaga swadaya masyarakat yang dipimpin oleh kaum milenial di Yogyakarta ini gencar menggelar program pendidikan politik yang menyasar kalangan pelajar, mahasiswa, perempuan, hingga kelompok penyandang disabilitas.
Dengan menggandeng Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DIY dan KPU, mereka juga menjadwalkan kelas demokrasi dan parlemen mahasiswa di sejumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Selain mengajari mereka trik menjadi pemilih cerdas, menghindari golput, dan menolak politik uang, mereka terus mendidik masyarakat untuk matang dalam berdemokrasi.
Untuk mendewasakan demokrasi, syaratnya harus disadari bahwa pemilu merupakan salah satu inti demokrasi yang seharusnya menjadi wahana kegembiraan dalam mencari pemimpin yang baik, bukan sebaliknya, saling menghujat, bahkan terpecah belah.
Perbedaan pilihan atau pandangan harus diikuti dengan saling menghormati dengan tidak terprovokasi oleh hoax, apalagi menyebarkan ujaran kebencian yang berujung pada SARA.
Setelah kontestasi politik usai, semua orang harus melupakan perbedaan, merapatkan barisan, dan menghormati keputusan KPU.
Dalam Jurnal Ilmu Politik Volume 10 (2019), Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim memandang bahwa haus akan pengakuan identitas diri dan kelompok, serta pengakuan berdasarkan kebangsaan, agama, golongan , dan etnisitas berpotensi membangun polarisasi dalam masyarakat.
Meski begitu, munculnya riak-riak kecil dalam pesta demokrasi masih merupakan hal yang wajar asalkan tidak terlalu banyak memicu perpecahan. Bagi Edward, tidak ada harapan untuk membuat masyarakat dewasa menjadi demokrasi.
Norwegia membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menduduki posisi sebagai negara paling demokratis. Berdasarkan skor indeks demokrasi tahun 2021, negara ini menempati peringkat pertama di dunia dengan skor 9,75. Sementara itu, Indonesia pada saat yang sama berada di peringkat 52 dengan skor 6,71.
Fakta ini dinilai wajar karena pemilu baru bisa digelar secara demokratis pasca Reformasi 1998 hingga puncaknya pada 2004, di mana rakyat bisa langsung memilih wakilnya di lembaga legislatif maupun presiden dan wakil presiden secara langsung.
Setelah lama terbelenggu di bawah rezim Orde Baru, wajar jika kedewasaan demokrasi di Indonesia masih perlu dibangun dan diperkuat. Seperti membuka dan menutup sumbatan, kemudian kotoran atau riak keluar sehingga harus dibersihkan bersama-sama.
Editor: Masukkan M. Astro
Redaksi Pandai 2022