Jakarta (Partaipandai.id) – Astronomi atau ilmu perbintangan telah digunakan oleh masyarakat sekitar Candi Borobudur selama berabad-abad dan dapat diamati pada pergerakan bayangan yang jatuh pada stupa induk.
Warisan pengetahuan ini dikenal dengan Pranata Mangsa, sistem penanggalan yang digunakan sebagai penanda waktu dan terutama sebagai penunjuk waktu yang tepat untuk bercocok tanam.
Peneliti astronomi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irma Hariawang menjelaskan bahwa konsep Pranata Mangsa diciptakan berangkat dari upaya manusia untuk mencoba memahami perilaku dan siklus alam. Tak hanya petani, Pranata Mangsa juga berguna bagi para nelayan untuk mengatur waktu menangkap ikan di laut.
Baca juga: Komunitas Gastronomi mengungkap penemuan makanan di relief Candi Borobudur
“Selain Pranata Mangsa, mereka (masyarakat) juga bisa berjaga-jaga karena dari situ mereka tahu kapan bencana banjir atau angin melanda. Itu semua dari lama bagaimana mereka mengamati perilaku alam,” kata Irma saat peluncuran serial dokumenter Zenius di Jakarta, Rabu.
Irma mengatakan Pranata Mangsa secara resmi diperkenalkan oleh raja di masa lalu. Namun catatan sejarah lainnya juga menyebutkan bahwa sistem penanggalan telah muncul sekitar abad ke-9 atau ke-8.
“Tepat pada saat Borobudur dibangun, sehingga Pelestarian Mangsa ini sudah mulai dikenal. Dari sini saya menyimpulkan bahwa memang ada hubungan antara Pranata Mangsa dan Borobudur, dari abad ke-8 atau ke-9 mereka sudah mulai mengamati pergerakan benda langit untuk menentukan masa tanam,” ujarnya.
Stupa utama Borobudur yang terletak di lantai 10 berfungsi sebagai gnomon atau penanda waktu dengan mengandalkan bayangan matahari. Stupa induk dikelilingi oleh stupa mendung pada tingkat ketujuh, kedelapan, dan kesembilan. Irma mengatakan bayangan stupa induk akan jatuh pada stupa hamparan tertentu yang dapat menandai penentuan awal musim Pranata Mangsa.
Baca juga: PUPR membangun infrastruktur terpadu-berkelanjutan di kawasan Borobudur
Irma dan tim melakukan penelitian terkait astronomi dan Candi Borobudur pada tahun 2008 hingga 2010. Dikatakannya, posisi Borobudur searah dengan arah mata angin yang telah ditentukan di masa lalu tanpa bantuan global positioning system (GPS) dan sebuah kompas. Hal ini, kata Irma, menjadi salah satu pemicunya untuk melakukan penelitian.
“Dulu belum ada GPS dan kompas. Itu pasti matahari. Dari matahari akan ada bayangan, mereka harus mengamati bayangan selama setahun agar bisa menentukan arah angin yang tepat,” katanya.
Irma mengatakan, posisi bayangan stupa induk yang jatuh saat ini sedikit berbeda dengan masa lalu, mengingat benda-benda langit termasuk bumi akan selalu bergerak.
“Ada perubahan sekitar beberapa derajat. Harus dikoreksi sekarang kita datang ke Borobudur. Kita akan melihat bayangan itu kemudian disesuaikan dengan Prey Institution, pasti ada sedikit perbedaan dan itu bisa dihitung atau dikoreksi, “jelasnya.
Irma meyakini masih banyak aspek astronomi di Borobudur yang bisa dipelajari, salah satunya adalah konstelasi Polaris yang bisa diamati pada candi di masa lalu. Bintang Polaris terletak dekat dengan kutub langit utara sehingga sering disebut sebagai bintang utara.
Ia berharap kerjasama penelitian lintas disiplin dapat terus dilakukan di Indonesia, khususnya keterkaitan antara astronomi dan arkeologi, sehingga informasi yang selama ini terpendam dapat dinikmati oleh masyarakat ilmiah.
Baca juga: Zenius mempersembahkan serial dokumenter pariwisata berbasis pendidikan
Baca juga: Wamenparekraf mengapresiasi serial dokumenter sebagai media promosi pariwisata
Baca juga: Fakultas MIPA UGM akan meluncurkan prototipe Candi Borobudur versi metaverse
Reporter: Rizka Khaerunnisa
Redaktur : Suryanto
Redaksi Pandai 2022