Perbuatan yang dilakukan oleh tersangka sangat keji dan berdampak luas baik bagi media maupun masyarakat, sehingga diperlukan tindakan dan hukuman yang tegas bagi pelakunya.
Jakarta (Partaipandai.id) –
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora Latumahina tidak memenuhi syarat untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
“Ini karena ancaman pidana penjara melebihi batas yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020,” kata Ketut dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Menurut Ketut, tersangka Mario Dandy Satrio (MDS) dan Shane Lukas (SLRL) tidak layak mendapat restorative justice karena tindakan penganiayaan yang dilakukannya diancam dengan hukuman yang melebihi aturan restorative justice yang dikeluarkan Kejaksaan Agung.
Sementara bagi AG yang ditetapkan sebagai pelaku anak yang berkonflik dengan hukum, Ketut menjelaskan bahwa undang-undang tentang sistem peradilan anak mewajibkan aparat penegak hukum untuk mendamaikan setiap tingkat penanganan perkara pelaku anak demi menjaga masa depan. anak yang berkonflik dengan hukum yaitu diversi, bukan restorative justice
Namun, diversi hanya dapat dilakukan jika ada perdamaian dan pemaafan dari korban dan keluarga korban.
“Kalau tidak ada kata maaf, maka kasus terhadap pelaku anak harus dilanjutkan sampai pengadilan,” kata Ketut.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menutup peluang restorative justice bagi tersangka Mario Dandy Satriyo (20) dan Shane Lukas (19) yang menjadi pelaku penganiayaan terhadap D (17).
Kesempatan ini tertutup mengingat kondisi korban yang masih belum sadarkan diri, ancaman hukuman sudah melebihi batas maksimal keadilan restoratif. Apalagi, jaksa penuntut umum bisa memberikan hukuman berat atas perbuatan keji yang telah dilakukan.
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Agung Ade Sofyan dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Jumat, mengatakan restorative justice hanya bisa terwujud jika korban atau keluarga meminta maaf kepada tersangka. Namun, jika tidak ada maka keadilan restoratif tidak dapat dilakukan.
Meski demikian, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan kesempatan diversi kepada AG (15), anak yang berkonflik untuk mempertimbangkan masa depan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Karena tindakan yang dilakukan AG tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban, maka upaya perdamaian tentu kembali pada keputusan korban dan keluarganya.
Baca juga: Kejaksaan Agung memastikan restorative justice tidak akan menjadi ladang uang bagi jaksa
Baca juga: Menutup celah penyelesaian kasus korupsi melalui keadilan restoratif
Reporter: Laily Rahmawaty
Editor: Indra Gutom
HAK CIPTA © Partaipandai.id 2023