Memuat…
Harun Nasution dalam bukunya yang berjudul “Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah‘ kata di hari-hari awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi oleh rasa takut akan dosa yang telah dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa bimbang apakah taubatnya diterima oleh Tuhan sehingga ia bisa melanjutkan perjalanannya menuju Tuhan.
Lambat laun ia merasa bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka marah, tetapi zat yang mencintai dan mencintai hamba-Nya. Rasa takut hilang dan rasa cinta kepada Tuhan justru muncul, kata Harun Nasution.
Di stasiun ridla, kata Harun Nasution, rasa cinta kepada Allah bergejolak di hatinya. Jadi dia datang ke stasiun Mahabbah, cinta Ilahi.
Baca juga: Ketika aku jatuh sakit, Rabiah Al-Adawiyah: Tuhanku mendisiplinkanku
sufi memberikan pengertian mahabbah sebagai berikut:
1. Merangkul ketaatan kepada Tuhan dan benci melawan-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada Sang Kekasih.
3. Kosongkan hati dari segala sesuatu, kecuali dari Sang Kekasih.
Harun Nasution menjelaskan bahwa mencintai Allah tidak dilarang dalam Islam, bahkan dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Allah kepada hamba dan cinta hamba kepada Allah. Ayat 54 dari Surat al-Maidah, “Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan orang-orang yang mencintai-Nya.”
Selanjutnya, ayat 30 surat ‘Ali Imran mengatakan, “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, dan Allah akan mencintaimu.”
Hadits juga menjelaskan cinta itu. “Hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadah agar Aku mencintainya. Yang Aku cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan, dan tangannya.”
Baca juga: Sayyidah Rabiah al-Adawiyah: Istighfar Kita Butuh Perbanyak Istighfar
Maqam Mahabbah
Sufi yang terkenal dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi’ah al-‘Adawiah (713-801 M) di Basra. Cintanya yang dalam kepada Tuhan membuatnya menjauh dari segala sesuatu yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, dia tidak meminta untuk dijauhkan dari neraka dan juga tidak meminta untuk dimasukkan ke surga. Apa yang dia minta adalah dekat dengan Tuhan.
Dia berkata, “Saya melayani Tuhan bukan karena saya takut neraka, juga bukan karena saya ingin masuk surga, tetapi saya melayani karena cinta saya kepada-Nya.”
Dia berdoa, “Ya Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakar mataku demi-Mu, jangan sembunyikan keindahan abadi-Mu dari pandanganku.”
Ketika malam sepi dia berkata, “Ya Tuhanku, bintang-bintang di langit telah berkilauan, mata telah tertidur, pintu-pintu istana telah dikunci, setiap kekasih sendirian dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu.”
Ketika fajar menyingsing dia dengan cemas berkata, “Ya Tuhanku, malam telah berlalu dan hari akan segera muncul. Saya cemas, apakah Anda menerima saya sehingga saya bahagia, atau apakah Anda menolak saya sehingga saya merasa sedih. Anda memberi saya keinginan. Jika Engkau mengusirku dari pintu-Mu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku.”
Ia juga pernah berkata, “Sayangku, hanya kamu yang kucintai. Ampunilah para pendosa yang datang ke hadirat-Mu, Kau adalah harapanku, kebahagiaan kesenanganku. Hatiku telah menolak untuk mencintai orang lain selain Engkau.”
Begitu penuh hatinya dengan cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya apakah dia membenci Setan, dia menjawab, “Cinta saya kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di hati saya untuk membenci Setan.”
Baca juga: Inilah Jawaban Rabiah Al-Adawiyah Saat Hasan Al-Basri melamar
Kecintaan Rabi’ah al-‘Adawiah yang tulus kepada Allah akhirnya dibalas oleh Allah, dan ini dinyatakan dalam ayat berikut:
Aku mencintaimu dengan dua cinta,
Cinta untukku dan cinta untukmu,
Cinta karena aku
Membuatku melupakan orang lain dan selalu menyebut nama-Mu,
cinta untuk dirimu sendiri,
Membuatku melihat-Mu karena Engkau membuka tabir,
Saya tidak punya pujian untuk ini dan itu,
Bagi-Mu segala pujian dan untuk itu semua.
Rabi’ah al-‘Adawiah, telah sampai di perhentian setelah mahabbah, yaitu makrifah. Dia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Dia telah tiba di stasiun yang menjadi impian para sufi. Dengan kata lain, Rabi’ah al-‘Adawiah telah menjadi sufi sejati.
Baca juga: Rabiah Al-Adawiyah Meninggal dan Menghadapi Malaikat Munkar dan Nakir
(mi)