akting itu kan memanusiakan manusia. Jadi aktor berarti jadi manusia, belajar hitam putih, dan segala hal.
Jakarta (Partaipandai.id) – Sempat menapaki kehidupan sebagai seorang model, asisten penata busana, pembawa acara televisi, hingga aktor peran, nama Jourdy Pranata diproyeksikan menjadi salah satu sosok menjanjikan dalam industri sinema Tanah Air.
Menamatkan pendidikan sarjana di program studi Ilmu Komunikasi Universitas Telkom tahun 2013, Jourdy merasa tak menemukan apa yang ia cari dari pekerjaan kantoran. Pria berdarah Minang itu lantas berketetapan menggali kemampuan berakting dengan mengikuti banyak kelas pelatihan akting, menceburkan diri di kelompok teater kontemporer Teater Tetas, termasuk menguliti segala hal mengenai olah rasa, mental, dan perilaku di Bengkel Akting Kuma.
Sejak menekuni peran ekstra di drama romantis “Aku, Kau & KUA” (2014), berjibaku penuh aksi di “Pertaruhan” (2017), memerankan Bambang di “Habibie & Ainun 3” (2019), nama Jourdy Pranata kian melekat di ingatan publik ketika dirinya sukses beradu peran dengan Prilly Latuconsina dalam serial web “I Love You Silly” pada 2021.
Ia segera mendapatkan peran utama sebagai pelayan kafe depresif bernama Pram dalam “Kukira Kau Rumah” (2022) dan berhasil membawa pulang gelar pemeran utama pria terfavorit pada Indonesian Movie Actors Awards 2022.
Jourdy juga tampil impresif kala memerankan penghuni rumah susun menyebalkan namun bermental pahlawan kesiangan, yaitu Dino di “Pengabdi Setan 2: Communion” (2022) – walau lagi-lagi Jourdy harus ’dimatikan’, sama seperti nasib Pram.
Bintang terang Jourdy semakin benderang. Pria kelahiran 2 Januari 1994 itu dipercaya turut ambil peran penting di laga pahlawan super “Sri Asih” (2022) sebagai Farzan, “Balada Si Roy” (2022) sebagai anggota geng anti-kemapanan penuh cinta bernama Andi, dan “Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji” (2023) sebagai Rama yang bertualang memecahkan misteri mistis dan teror gaib.
Film-film bertajuk “Hari Ini Akan Kita Ceritakan Nanti”, “Dear Jo: Almost is Never Enough”, dan “Susuk: Kutukan Kecantikan” merupakan torehan terbaru yang mengisi deret panjang filmografi sulung dari tiga bersaudara pasangan (almarhum) Hasbi Burhanuddin dan Rita Ismail tersebut.
Saat sesi kunjungan ke Partaipandai.id dalam rangkaian promosi film terbarunya yaitu “Susuk: Kutukan Kecantikan”, Senin (17/7), Jourdy banyak bercerita mengenai alasan utama memilih dunia seni peran sebagai jalan kehidupan, tantangan peran pedofilia, hingga tugas akhir kuliah tentang dinamika anak dari keluarga nan tak harmonis.
Apa kabar, Jourdy? Lagi sibuk apa saat ini?
Kabar baik, alhamdulillah sehat. Sekarang lagi sibuk promosi film dan olahraga tapi tipis-tipis saja, sih. Cuma nge-gym, terus lagi coba hobi baru free diving.
Jourdy baru terlibat dalam film “Susuk: Kutukan Kecantikan” yang akan rilis Agustus ini. Berperan sebagai Arman, berapa lama mendalami karakter sebagai seorang sopir taksi?
Arman bersahabat dengan Laras (Hana Malasan). Sebagai seorang supir taksi, Arman akan bertualang bersama Ayu (Ersya Aurelia) untuk menyelamatkan Laras. Dari awal pemilihan pemain hingga syuting, waktunya kurang lebih satu bulan. Jadi, selama satu bulan, aku mencoba menjadi Arman dengan mendalami potongan rambut, karakter, gaya berpakaian, bahkan hingga aroma keringatnya.
Tantangan terberat saat memerankan Arman adalah berbicara menggunakan logat khas Sumatera karena memang karakter tersebut adalah perantau. Jadi, lumayan sulit tuh memakai logat Sumatera tapi yang lain memakai logat Jawa.
Kenapa tertarik untuk mengambil peran di film tersebut?
Selama ini kita menganggap susuk itu budaya di Indonesia yang nggak mungkin lepas. Film ini menceritakan tentang seseorang yang memakai susuk dan bagaimana cara dia untuk bisa terlepas dari hal itu.
Kenapa tertarik? Kenapa nggak? Film ini lekat sekali dengan budaya Indonesia karena sampai sekarang banyak orang masih bertanya, ‘susuk ini benar nggak, ya?’. Jadi alasan aku ikut film ini karena penasaran dengan hal itu. Mau nggak mau, pasti aku akan mencari tahu segala sesuatu tentang kebenaran susuk.
Berarti percaya dengan susuk?
Tadinya aku skeptis sama susuk. Tetapi setelah membedah karakter, akhirnya aku percaya kalau susuk itu beneran ada dan bahkan orang-orang pada tahun 2023, sampai detik ini, masih ada yang pakai susuk.
Menurutku itu juga bukan hal yang salah atau benar ya, tetapi tergantung tujuannya saja. Memang rata-rata pemakai susuk itu adalah kaum wanita. Nah, itu kenapa, ya? Kaum wanita itu selalu ingin berpikiran untuk memakai susuk. Mungkin dia kurang percaya diri atau memang banyak tuntutan dari orang-orang yang mengharuskan wanita itu cantik sempurna, begitu.
Pernah ketemu langsung dengan orang yang memakai susuk?
Belum, tapi ingin. Penasaran ingin tahu saja, beneran ada nggak sih benda-benda aneh di dalam anggota tubuhnya itu?
Oke, sebelum membahas lebih mendalam tentang film dan karier di dunia akting, bisa jelaskan sedikit tentang “Komunikasi Interpersonal Anak Broken Home Akibat Pernikahan Ulang Dalam Keluarga” — sebuah penelitian yang sepertinya sangat menantang. Kenapa mengambil tema itu sebagai tugas akhir?
Wah! Memang kan waktu bikin skripsi ada 2 pilihan: kualitatif atau kuantitatif. Terus terang, aku tuh cemen banget untuk penelitian kuantitatif karena melibatkan angka-angka, harus menghitung, lalu menyebar kuesioner. Aku lebih suka pendekatan seperti ngobrol sama orang. Lalu, dosen pembimbing menyarankan untuk mengambil penelitian kualitatif yang terdekat dengan kehidupan, walaupun keluargaku nggak broken home, ya.
Di sekeliling aku memang banyak teman yang bisa dibilang berlatar keluarga broken home. Jadi, aku bertanya kepada mereka yang orang tuanya bercerai lantas menikah lagi, apakah memang berhasil menggantikan peran orang tua sebelumnya atau justru malah menambah runyam kehidupan. Aku meneliti dari dasar ilmu komunikasi dan memasukkan sedikit ilmu psikologi. Teman-teman yang menjadi obyek penelitian tentunya bersifat anonim.
Bagaimana reaksi mereka setelah mengetahui hasil penelitian itu?
Mereka cuma berkomentar singkat, ‘ya, kan?’ (tertawa). Jadi memang mereka sudah memprediksi dan tahu betul bahwa tidak ada yang bisa menggantikan peran orang tua kandung. Mereka pernah terluka karena perpisahan kedua orang tua, bahkan saat usia mereka masih sangat kecil. Hal itu sangat membekas walau pada akhirnya luka tadi bisa terobati dalam jangka waktu yang sangat lama.
Lalu dari hasil penelitian itu, apa makna yang diperoleh bagi diri pribadi dan dalam menjalani kehidupan sehari-hari?
Saat penelitian, aku tidak cuma wawancara anak dari keluarga broken home, namun juga orang tua yang menikah lagi. Rata-rata tujuan mereka pasti ingin mengisi kekosongan karena merasa masih muda, produktif, dan butuh orang lain untuk mendampingi. Apalagi kalau orang tua mesti berpisah ketika anak-anak mereka masih kecil, maka anak-anak akan kehilangan sosok pelindung.
Sementara dari sisi si anak ketika melihat orang tua pengganti, tetap saja merasa orang itu bukanlah orang tua kandung. Pasti rasanya berbeda. Bahkan ada salah satu subjek penelitian yang hingga detik ini masih memanggil bapak barunya dengan sebutan om.
Jadi, memang makna yang aku ambil dari penelitian itu adalah orang tua asli itu keajaiban, anugerah yang nggak akan bisa dibuat-buat atau digantikan. Seburuk apa pun orang tua kandung, ya itu harus dihargai dan disyukuri dulu. Karena kalau nanti mereka berpisah, lalu ada orang baru lagi, bukan berarti hilang masalah, bahkan justru bisa menimbulkan masalah baru.
Hal penting lain yang aku serap dari penelitian itu adalah komunikasi di dalam keluarga itu penting banget. Jujur dan rasa sayang nggak bisa dibohongi. Jadi kalau aku maknai, nilai pentingnya adalah jangan pernah berbohong kepada keluarga karena mereka yang akan nge–backup meski seberapa hancur diri kita.
Pernahkah ada orang terdekat atau saudara yang meminta saran berkaitan dengan hasil penelitian tersebut?
Ada dan aku cuma menyampaikan bahwa apa pun yang terjadi di keluarga, bukanlah sebuah kehancuran. Semisal kedua orang tua pisah lalu anak merasa broken home, maka nggak usah berlarut-larut merasa nggak layak hidup atau segala macam. Kayak gitu cuma ada di sinetron!
Ternyata banyak kok anak yang hidup bersama satu bapak atau ibu, lalu sukses bahkan bisa bertahan. Jadi, kalau memang seseorang datang dari keluarga broken home, ya nggak apa-apa, itu bagian dari kehidupan. Syukuri saja dan selalu komunikasikan kebutuhan keluarga, termasuk apakah orang tua yang telah berpisah butuh menikah lagi atau tidak.
Berarti kondisi tersebut cukup berhubungan dengan kehidupan Jourdy ketika ditinggal mendiang ayah dua tahun lalu?
Kurang lebih seperti itu. Bapakku wafat akibat COVID-19. Tetapi aku nggak mau merasa, ‘aduh, aku broken home nih, nggak punya bapak’. Nggak seperti itu. Tapi ya sudah, aku terima. Aku bahkan bertanya apakah ibu mau menikah lagi atau tidak karena menurutku usia beliau masih produktif. Lagi pula, aku nggak akan pernah bisa menggantikan figur bapak. Ternyata, ibu malah bertanya, ‘memang boleh (menikah lagi)?’.
Mendapatkan respons seperti itu, aku tentu saja membolehkan dengan syarat calonnya mesti aku yang seleksi (tertawa). Tujuannya adalah mendapatkan figur yang bisa membuat ibu happy, nggak boleh membawa ke kehidupan yang downgrade.
Beralih ke awal karier di dunia seni peran. Ternyata, Jourdy memiliki semacam kesepakatan dengan orang tua agar diizinkan untuk menapaki dunia seni peran hingga tenggat usia 25 tahun. Bila setelah itu dianggap belum berhasil, maka Jourdy harus mengikuti keinginan orang tua.
Betul sekali. Pada usia 25 tahun, aku sedang menata karier di ranah seni peran, bermain di teater, dan segala macam. Apa yang membuat orang tua akhirnya mengizinkanku terjun total ke dunia sinema adalah mereka melihat aku happy di situ.
Sewaktu aku bekerja kantoran umur 22 sampai 25 tahun, finansial memang aman dan mau jajan apa pun bisa. Aku juga pernah jadi talent coordinator di sebuah stasiun televisi swasta Jakarta dan jadi asisten wardrobe di film pertama Jefri Nichol dan Giulio Parengkuan yaitu “Pertaruhan”. Kerja di situ memang happy, namun kayak ada satu rasa penasaran yang masih ingin kukejar dan berpikir, ‘ah, kayaknya aku bisa terjun ke dunia akting, nih’.
Aku lalu minta izin ke orang tua untuk beralih ke depan layar. Lalu mereka bilang kalau hal itu mungkin hanya hobi atau keinginan sesaat dan berharap aku nggak keluar dari kantor. Kerjaan semacam itu, kata mereka, nggak akan bisa membuat settled. Mereka juga beranggapan terjun ke dunia akting mungkin hanya bertahan selama satu atau dua tahun dan setelah itu nggak ketahuan akan seperti apa.
Aku mengiyakan pandangan mereka itu sembari memberikan pandangan: bagaimana caranya bisa tahu dunia tersebut kalau nggak pernah dicoba? Jadi, aku meminta izin agar boleh cabut dari kantor, lantas berfokus di dunia akting secara total hingga usia 25 tahun. Kalau setelah itu aku nggak sukses dalam artian sendiri atau mereka, ya sudah aku akan terjun ke bisnis seperti yang mereka harapkan.
Memangnya bakalan terjun ke bisnis apa?
Bapak bekerja di bisnis properti. Bisa jadi, aku diproyeksikan untuk melanjutkan usahanya di bidang itu atau bekerja di kantor dengan jenjang karier layaknya pekerja kantoran. Alhamdulillah, mereka mengizinkanku beralih ke film.
Selanjutnya, aku selalu berusaha transparan dalam segala hal. Semisal mendapatkan film A dengan sutradara B, pemainnya C, D, dan E, dengan nominal gaji sekian. Mereka akan selalu berpesan agar aku menabung uang. Semisal menganggur belum ada panggilan pun aku selalu bilang ke mereka. Jadi, memang progress-nya selalu transparan.
Mereka merasa bangga saat aku undang untuk datang ke premiere film, lalu namaku disebutkan dan mendapatkan apresiasi dari banyak orang. Mereka bisa menilai kalau aku memang happy di dunia peran ini dan ya sudah, lanjut dengan tetap bertanggung jawab dalam hal keuangan, pergaulan, dan reputasi keluarga.
Agak mundur sedikit, lalu momentum apa yang membuat seorang Jourdy Pranata begitu yakin bahwa bagian depan layar adalah jalan yang dipilih dalam kehidupan?
Semacam balas dendam (tertawa lepas). Sebetulnya menjadi aktor adalah cita-cita sejak kecil. Dulu, aku suka nonton TV dan bioskop, lihat Putri Titian, Gita Gutawa, lalu Raffi Ahmad, dan angkatan mereka. Setiap kali aku nonton, selalu berpikir, ‘eh, kerja seperti mereka enak ya’. Tetapi mimpi itu aku stop karena merasa jauh sekali dari dunia itu. Keluarga jauh dari seni, jadi nggak akan ada arah ke sana. Ya sudahlah, aku cukup jadi penikmat film saja.
Kemudian saat masa kuliah, aku ikut modelling dan banyak orang bilang aku nggak cocok di situ karena bogel (tertawa) serta memiliki modal wajah yang biasa saja. Mereka menyarankan aku untuk mencoba dunia komersial seperti iklan dan film. Nah, dari situ aku langsung teringat cita-cita masa kecil untuk menjadi pemain film.
Lantas, aku pun mencari cara sampai akhirnya berakhir di salah satu televisi swasta Jakarta. Di titik inilah, aku mau menghubungkan dengan penjelasan mengenai balas dendam tadi (tersenyum).
Jadi, ketika bekerja di TV tersebut, aku benar-benar diperlakukan sebagai bawahan oleh mereka yang lazim disebut sebagai ‘skuter’ alias selebritas kurang terkenal (tertawa lepas). Mereka ini nggak punya attitude. Maksudku, semua orang yang bekerja di media atau perusahaan mana pun, tentu punya peranan dan tidak ada alasan untuk berlaku sewenang-wenang terhadap siapa pun.
Pernah suatu ketika, ada salah satu ‘skuter’ turun dari mobil dan dia berteriak, ‘Mas, tolong angkat koper saya!’. Saat itu dalam hati, aku berujar, ‘Hei, aku ini sarjana komunikasi, loh’. Jadi, ada semacam ego yang ingin mengingatkan orang-orang semacam itu bahwa mereka nggak akan bisa bertahan kalau bersikap seperti itu.
Contoh lain, ada pula aktor B yang sudah tahu jadwal syuting pukul 4 sore, namun baru datang pukul 8 malam. Hal seperti itu kan merugikan tidak hanya waktu, namun juga uang, tenaga orang lain, dan segala macam. Inilah yang membuatku merasa bisa jadi orang yang lebih baik dari mereka. Ada pikiran bahwa seharusnya perusahaan nggak perlu menyewa jasa mereka karena pasti ada orang yang lebih bagus.
Pendeknya, setahun bekerja di TV, aku kenal Bengkel Akting Kuma dan diajarkan mengenai akting di situ. Memang, akting itu kan memanusiakan manusia. Jadi aktor berarti jadi manusia, belajar hitam putih dan segala hal. Dari situ, aku jadi semakin yakin bahwa orang-orang minim attitude yang dulu pernah kutemui benar-benar nggak ada apa-apanya.
Alhamdulillah, ketika akhirnya aku mendapatkan kesempatan bekerja di industri film, aku menerapkan pengalaman tadi dalam artian nggak pernah mau menghardik kru atau orang yang tugasnya bahkan hanya membuat segelas teh manis. Semua adalah bagian tim. Artis yang mengenakan baju bagus, tentu tidak akan ada apa-apanya tanpa bantuan kru di belakang itu semua.
Sampai detik ini, aku selalu berupaya menjaga attitude. Mungkin kalau adu akting dengan aktor-aktor lain, tentu banyak yang lebih bagus. Tetapi aku berani untuk adu attitude karena aku pernah menjadi kru (tertawa). Intinya, aku mensyukuri sekali pengalaman dan apa yang sudah dilihat. Hal-hal itu yang membentuk aku saat ini.
Seiring waktu, Jourdy berhasil mendapatkan peran bagus di beberapa film, di antaranya “Habibie & Ainun 3” dan “Pengabdi Setan 2: Communion”. Bagaimana rasanya bermain dengan nama-nama besar dunia sinema?
Wah, “Habibie & Ainun 3” kan film yang bertabur bintang, bukan satu dua bintang lagi. Ada Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Aldi Yunanda, Aghniny Haque, Kevin Ardilova, Arya Saloka, dan Jefri Nichol. Tiba-tiba muncul aku?
Tadinya aku berpikir, ‘duh, ini superstar semua! Aku nggak akan ditemani karena siapalah aku?’ Apalagi ada Jefri Nichol, kan dia tahu persis kalau aku pernah jadi kru wardrobe. Tetapi, kekhawatiran itu tidak terjadi.
Bahkan Maudy Ayunda sampai sekarang masih mengingat dan menyapaku kalau ketemu di FFI. Begitu pula Kak Reza (Rahadian). Apa yang membuat aku jatuh cinta sama industri ini salah satunya karena nggak ada jarak antara anak baru dan lama. Nggak ada tuh anak baru harus hormat ke anak lama atau sori anak baru, kita ngobrolnya basa-basi aja ya karena aku nggak kenal kamu. Nggak ada. Mereka justru sering nanya alasanku terjun dan mencintai dunia akting, hingga pada akhirnya aku juga jadi terbuka kepada mereka.
Jadi, aku melihat aktor-aktor Indonesia itu nggak ada yang sombong. Bahkan sekelas Ibu Christine Hakim atau Jajang C. Noer kalau ketemu aktor muda, masih mengingat nama. Aku berpikir, ‘wah, beliau masih ingat dan memanggil namaku?’
Nah, aku tentu banyak belajar bahwa apa yang membuat nama mereka tetap besar hingga saat ini karena mereka adalah orang-orang baik dan santun kepada siapa saja.
Lantas sejauh ini, apa peran yang paling sulit dilakoni?
Sebenarnya setiap karakter yang aku mainkan itu punya kesulitan masing-masing. Ambil contoh di “Pengabdi Setan 2: Communion” ketika aku memerankan sosok preman, dekil, bau, dan pecundang. Kesulitannya lebih ke teknis dan horor Abang (Joko Anwar) kan agak beda, seperti harus memainkan lampu sendiri dan take di lokasi yang sesungguhnya.
Lalu, ketika main di “Kukira Kau Rumah” sebagai Pram, kesulitannya lebih ke dalam jiwa karena isunya tentang mental health. Di situ, aku harus belajar agar tidak salah menerjemahkan isu tersebut karena mental health sangat sensitif. Kalau arahnya salah, bisa jadi salah informasi.
Maka, aku sama Prilly Latuconsina sama-sama mewawancarai orang-orang, bertanya tentang tema tersebut, mencari tahu tentang manic dan bipolar, serta karakter orang-orang yang ingin bunuh diri. Pada akhirnya, karakter yang terbangun tidak akan ditertawai oleh orang yang depresi dan bilang, ‘ah, kayaknya saya depresi tapi nggak gitu, kali’.
Bahkan, di series pun ada kesulitan, misalnya di “Saiyo Sakato”. Aku memang orang Padang, namun kalau ngomong sehari-hari nggak pernah pakai Bahasa Padang. Akhirnya, sama Uni Nirina Zubir, aku mesti berbicara Bahasa Padang dalam keseharian. Jadi, memang tiap karakter ada kesulitan, namun aku selalu memakai irisan yang ada di dalam diri.
Misalnya, sebagai Pram, aku berupaya mengeluarkan sisi depresi di dalam diri. Di “Kukira Kau Rumah”, aku pernah tinggal di rumah susun dan mengingat kembali kehidupan di sana yang dipenuhi preman jalanan. Begitu juga di “Susuk: Kutukan Kecantikan”, aku dibebaskan untuk menggunakan logat yang diinginkan dan akhirnya memilih logat Sumatera.
Tetapi, bagaimana bila harus memerankan satu karakter, namun tidak ada irisan di dalam diri?
Hal itu pernah terjadi di satu film yang tayang bulan Agustus nanti. Di film itu, aku merasa jauh banget dengan karakter yang mesti dimainkan yaitu sebagai seorang suami, bekerja di luar negeri, punya istri, namun tidak bisa memiliki keturunan. Artinya, aku harus memahami betul Bahasa Inggris, terbiasa dengan udara dingin, berinteraksi baik dengan istri, sekaligus menunjukkan rasa depresi karena tidak bisa memiliki anak. Aku berpikir, ‘ini gimana caranya, ya?’ (tertawa).
Di titik itu, aku letakkan irisan diri mengenai rasa sedih, misalnya, saat nggak kunjung mendapatkan casting. Lalu, aku juga banyak bertanya ke sutradara. Intinya selalu ada acara, tinggal gimana mau menanggapi tantangan itu dan tidak lekas patah arang, kemudian malah mundur. Menghadapi hal demikian, aku selalu beranggapan, ‘ah, sikat aja, lah! Nanti juga ada magic-nya’.
Selanjutnya, apa karakter yang ingin sekali dilakoni? Karakter depresif-destruktif semacam Joker, mungkin?
Nah, ini! Aku benci banget terhadap pedofilia. Menurutku, nggak ada toleransi terhadap orang seperti itu , wah sinting, orang gila, sih. Kita nggak habis ‘fikri’ (pikir) dengan pola pikir orang semacam itu, kan?
Ketika aku berpikir mengenai apa yang susah dan bisa menjadi tantangan seperti yang tadi kita bahas mengenai irisan diri, maka di sini kita berbicara soal bagaimana melawan idealisme tentang pedofilia dengan memerankan karakter itu.
Di satu sisi, aku benci sekali pedofilia, rasanya ingin nonjok orang macam itu. Tetapi di lain sisi, mau nggak mau aku harus mencari tahu kenapa seorang pedofilia bisa seperti itu dan apa yang terjadi dengan masa lalunya. Menurutku, hal itu menarik sekali untuk dibedah.
Selain peran menjadi pedofilia, menurutku peran jadi waria pun sangat menantang. Aku sempat bilang ke manajer, ‘Bang, kalau bisa jangan jadi pangeran kuda putih terus, ya. Nyeleneh sedikit sepertinya nggak apa-apa’. Menarik. Aku merasa banyak pelajaran yang bisa didapatkan, dan sensasinya pasti lebih menegangkan ketika film itu akan dirilis ke publik. Ada sedikit perasaan cemas yang muncul, apakah karya itu bisa diterima baik oleh publik atau tidak.
Jadi, pada masa mendatang, aku tentu ingin sekali memerankan karakter yang belum pernah dimainkan karena sangat menarik, sekaligus ingin menggambarkan kalau orang-orang semacam itu benar-benar ada.
Sebagai penutup, ada yang ingin disampaikan kepada para penikmat sinema dan penggemar Jourdy?
Tetap nonton film Indonesia, jangan yang bajakan! Walaupun ada film- film dari luar negeri di bioskop , coba utamakan dulu nonton film Indonesia supaya film-film kita semakin sukses dan naik kelas.
Jangan lupa datang ke bioskop tanggal 31 Agustus ini karena film “Susuk: Kutukan Kecantikan” akan tayang di semua bioskop di Indonesia. Jadi, buat kalian yang penasaran sama susuk, atau ada yang berniat pakai susuk, bahkan ada yang sudah pakai susuk tapi bingung cara melepasnya, silakan nonton di bioskop tanggal 31 Agustus dan sampai bertemu di sana.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © Partaipandai.id 2023