Jakarta (Partaipandai.id) – Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menilai semua pihak harus memperjuangkan perlindungan dan keadilan bagi TKI di luar negeri.
Ia menilai, perjuangan perlindungan harus mengedepankan semangat persatuan dan dialog dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.
“Perlindungan warga negara harus mendapat tempat utama dalam setiap dinamika bernegara, termasuk bagi pekerja migran Indonesia,” kata Lestari Moerdijat dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Ketua MPR dorong optimalisasi penggunaan dana desa
Hal itu dikatakannya saat membuka diskusi online bertema “Perjuangan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia” yang digelar di Forum Diskusi 12 Denpasar, Rabu (6/7).
Lestari mengatakan, mekanisme perlindungan TKI telah tertuang dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan TKI.
Hal ini, menurut dia, sekaligus menegaskan bahwa perlindungan TKI merupakan tanggung jawab negara.
“Namun, ketika dihadapkan pada berbagai persoalan yang menyangkut kasus-kasus yang melibatkan buruh migran, seringkali muncul kesan bahwa negara tidak hadir untuk melindungi para buruh tersebut,” ujarnya.
Dijelaskannya, secara individu maupun kelompok, buruh migran seringkali terabaikan dalam setiap upaya menuntut kejelasan perlindungan atau jaminan yang telah diatur dalam skema perlindungan, baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya.
Lestari juga mengingatkan pentingnya kehadiran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) di tanah air yang saat ini “stagnan” dalam proses legislasi di DPR.
Menurutnya, perlindungan warga negara harus mendapat tempat utama dalam setiap dinamika negara.
Dalam diskusi tersebut, Kepala Migrant Care Center for Migration Studies, Anis Hidayah menilai politik hukum di Indonesia dan negara tujuan belum sepenuhnya berpihak pada pekerja migran.
Menurutnya, sistem peradilan dalam setiap kasus buruh migran seringkali “tajam” tetapi “tumpul”.
“Misalnya di Malaysia, isu buruh migran selalu mengutamakan pendekatan keamanan dan keimigrasian, mengabaikan pendekatan kemanusiaan,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, mengakibatkan perlakuan yang diterima buruh migran lebih seperti praktik perbudakan dengan mengabaikan hak-hak dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap buruh migran.
Ia mengatakan, pandemi dan memburuknya kondisi ekonomi di sejumlah negara tujuan pekerja migran, memperburuk kondisi fisik dan mental pekerja migran.
“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk melindungi sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia yang sebagian besar perempuan,” katanya.
Anis menilai upaya pemutakhiran data dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan dan meningkatkan pelayanan dan perlindungan bagi pekerja migran. Selain itu, ia menyarankan pendekatan G to G untuk mempercepat penyelesaian masalah hukum dan imigrasi.
Baca juga: Ketua MPR dukung PTDI kembangkan produksi pesawat N219 Nurtanio
Baca juga: Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkomitmen memajukan politik nasional
Baca juga: Ketua MPR Terima Surat Pengganti Zulhas
Wartawan: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Redaksi Pandai 2022