bisa jadi anak sering cemas dan takut karena ada rasa tidak nyaman saat menonton film horor.
JAKARTA (Partaipandai.id) – Biasanya orang pergi ke bioskop untuk mencari hiburan, namun kenyataannya akhir-akhir ini orang berduyun-duyun ke layar lebar untuk menonton film horor, membayar hanya untuk takut. Apakah kamu baik-baik saja?
Di bioskop, orang membeli tiket beserta makanan ringan dan minuman, lalu masuk ke dalam teater. Selama kurang lebih 2 jam, Anda akan disuguhi berbagai adegan seram, mengerikan dan tak jarang berdarah.
Selama pertunjukan, terkadang penonton berteriak, menjerit, menutup mata dengan jari-jari terbuka atau mengintip, darah mengalir deras, dan jantung berdetak kencang. Namun, itu semua dianggap menyenangkan.
Penonton rela mengeluarkan uang untuk menikmati sensasi ketakutan seperti itu. Kedengarannya agak aneh, tapi nyatanya ada jutaan orang yang melakukannya. Terbukti sederet film horor laris manis di Indonesia.
Data dari situs Film Indonesia mencatat film “KKN di Kampung Penari” ditonton lebih dari 9,2 juta orang; “Budak Setan” memiliki 6,3 juta penayangan; “Ivanna” dinikmati oleh hampir 2,8 juta penonton bioskop; “The Doll 3” ditonton oleh lebih dari 1,7 juta penonton; dan sekitar 1,5 juta orang menonton film “Jailangkung”.
Karena permintaan yang tinggi, industri film terus membuat film horor berulang kali, mengikuti prinsip bisnis, memproduksi apa yang diinginkan pasar. Jika hubungan industri dan pasar berlanjut seperti itu, jangan terlalu berharap pada konsep edutainment dalam tontonan dapat diterapkan. Memang, para pelaku industri berpendapat bahwa film horor juga mengandung pesan moral dan nilai pendidikan. Mungkin benar, walaupun porsinya sangat kecil, dan tentunya yang menonjol adalah sisi horornya, termasuk unsur mistis dan takhayul.
Aktris Prilly Latuconsina berpendapat bahwa orang-orang (seperti teman-temannya) pergi ke bioskop untuk mencari hiburan, jarang untuk mendapatkan pendidikan. Menurut pemeran film horor “Danur”, melalui film yang ia perankan, ia juga mengedukasi penonton dengan pesan kebaikan yang ditampilkan.
Terkait maraknya tayangan film horor yang digemari masyarakat, sosiolog dan Universitas Airlangga Surabaya Prof Bagong Suyanto menilai memang terjadi pergeseran aktivitas. kesenangan, sekarang ada campuran dengan uji nyali.
“Menonton film horor adalah tiket masuk ke dalam pergaulan. Karena sebagai uji nyali, kalau tidak nonton film horor, yaintimidasi teman-temannya dianggap pengecut,” kata Dekan FISIP Unair itu.
Diakuinya, film horor kurang memiliki konten edukasi, hanya bagian dari budaya populer yang berorientasi pada keuntungan. Menurutnya, masyarakat menyukainya karena menjadi bagian dari tren gaya hidup saat ini.
Redo Jayusman, jurnalis televisi di Padang, mengaku tidak suka film horor. Bukannya dia tidak suka film produk dalam negeri, tapi dia tidak suka film yang dimaniskan dengan adegan seks, yang biasanya ada di film horor Indonesia. Terkadang, adegan seks bukan lagi bumbu, melainkan menu.
“Sangat tidak mendidik, industri film hanya melihat peluang pasar. Karena penonton suka adegan seperti itu (seks),” kata Redo.
Saat pergi ke bioskop, ia memilih film-film pendidikan, seperti cerita pendekar yang difilmkan. Pria berusia 33 tahun itu pun mengapresiasi film yang diangkat dari kisah nyata “Habibie dan Ainun” yang menurutnya keren itu.
Senada dengan Redo, Richka Hapriyani, seorang pegawai swasta di Jakarta, juga tidak menyukai film horor karena tidak tahu di mana letak unsur menghibur dalam film yang sarat adegan seram.
“SAYA parno (paranoid), dibayangi dalam kehidupan sehari-hari dan itu mengganggu, menakutkan,” kata Richka.
Ia yang biasa pergi ke bioskop sendirian lebih memilih film bertema sosial atau keluarga, film superhero yang menggunakan teknologi canggih, serta film animasi.
Sementara itu, Yaya Izwa, seorang pengusaha milenial yang berdomisili di Canggu, Bali, memiliki ketertarikan terhadap film horor meski selektif, terutama yang berdasarkan kisah nyata dan diproduksi menggunakan teknologi canggih, serta plot. memutar yang menarik.
“Film itu adalah karya seni, dan membuat film horor juga tidak mudah. Kami menghargai menontonnya,” kata Yaya.
Menurutnya, film horor saat ini cukup bagus dalam hal improvisasi, mulai dari pemandangan hingga jalan cerita.
Adapun film horor yang pernah ia tonton, seperti Sabrina, The Doll, Suzanna: Breathing in the Graves diperankan oleh Luna Maya, sedangkan yang beredar saat ini adalah Waktu Maghrib dan Para Wanita Ikuti Iblis. belum tertarik untuk menontonnya.
Terpapar film horor
Selain sendirian, bersama teman atau pasangan, banyak juga orang yang pergi ke bioskop bersama keluarga, termasuk anak-anak. Lantas bagaimana nasib anak-anak yang ikut menonton film horor yang sebagian besar adegannya tidak pantas untuk anak-anak?
Menurut psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Novi Poespita Candra, Ph.D., anak pada dasarnya akan mempelajari perilaku baru melalui panca inderanya.
“Saat menonton apapun, termasuk film horor, (jika) ada adegan kekerasan, dia akan belajar apa yang dia lihat, dengar dan rasakan,” ujarnya.
Dalam Social Learning Theory, anak juga membentuk perilaku baru dengan meniru perilaku dan respon dari lingkungannya.
Oleh karena itu, ketika anak-anak terbiasa melihat adegan kekerasan dan berdarah, mereka akan berpikir bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang ada di film tersebut.
Ketika mereka masih kecil dan literasi bahasa mereka masih terbatas, mereka akan mengalami keterbatasan dalam berdialog tentang apa yang terjadi sehingga anak hanya meniru apa yang biasa mereka tonton, tambah dosen Fakultas Psikologi UGM ini.
Dampak lainnya, kata dia, bisa jadi anak sering cemas dan merasa takut karena ada perasaan tidak nyaman saat menonton film horor.
Karena keterbatasan literasi bahasa dan makna yang belum luas, mereka mudah merasa khawatir dan takut tanpa tahu alasannya.
Melihat dampak yang begitu serius, apakah orang tua yang mengajak anaknya menonton film horor tidak sadar telah meracuni otaknya dengan adegan yang tidak seharusnya ditonton?
Mudah “demam”
Orang Indonesia dianggap termasuk orang yang mudah “demam” terhadap apapun yang menarik perhatiannya. Mulai dari demam media sosial, K-pop, hingga film horor yang beredar akhir-akhir ini.
Tanpa memilih dan mempertimbangkan baik dan buruk, serta nilai keuntungan bagi diri mereka sendiri, mereka hanya mengikuti arus besar yang sedang tren, seperti sampah atau ikan mati yang tidak bisa melawan arus air sungai.
Industri juga sangat menikmati tipikal masyarakat seperti itu. Bagi industri perfilman seperti itu, “demam” mereka adalah kesempatan untuk mencari uang, kemudian terus memproduksi apa yang saat ini sedang digandrungi pasar. Terus “demam”, hingga suatu saat kita menjadi budak industri hiburan.
Mereka mengatakan tentang film horor.
Redo Jayusman, Wartawan Televisi di Padang, mengaku tidak suka film horor. Bukannya dia tidak suka film produk dalam negeri, tapi dia tidak suka film yang dimaniskan dengan adegan seksualitas, yang biasanya ada di film horor Indonesia.
“Sangat tidak mendidik, industri film hanya melihat peluang pasar. Karena penonton suka adegan seperti itu (seks),” kata Redo.
Ketika dia pergi ke bioskop, dia memilih film-film berkualitas, seperti kisah para pejuang yang difilmkan. Pria berusia 33 tahun itu pun mengapresiasi film yang diangkat dari kisah nyata “Habibie dan Ainun” yang menurutnya keren itu.
Senada dengan Redo, Richka Hapriyani, seorang pegawai swasta di Jakarta juga tidak menyukai film horor karena tidak mengetahui di mana letak unsur menghibur dalam film yang sarat adegan seram.
“Saya parno, membayangkannya dalam kehidupan sehari-hari dan itu mengganggu, menakutkan,” kata Richka.
Ia yang biasa pergi ke bioskop sendirian lebih memilih film bertema sosial atau keluarga, film superhero yang menggunakan teknologi canggih, serta film animasi.
Sementara itu, Yaya Izwa, seorang pengusaha milenial yang tinggal di Canggu, Bali, memiliki ketertarikan terhadap film horor, meski selektif, terutama yang berdasarkan kisah nyata dan diproduksi menggunakan teknologi canggih, serta plot twist yang menarik.
“Film itu karya seni, dan juga tidak mudah membuat film horor, karena kita mengapresiasinya dengan menontonnya,” ujar Yaya.
Menurutnya, film horor saat ini jauh lebih baik dari segi improvisasi, mulai dari adegan hingga jalan cerita.
Adapun film-film horor yang pernah ia tonton, seperti Sabrina, The Doll, Suzanna: Breathing in the Graves diperankan oleh Luna Maya, sedangkan yang beredar saat ini adalah Waktu Maghrib dan Para Wanita Ikuti Iblis. belum tertarik untuk menontonnya.
Terpapar film horor.
Selain sendirian, bersama teman atau pasangan, banyak juga orang yang pergi ke bioskop bersama keluarga, termasuk anak-anak. Lantas bagaimana nasib anak-anak yang ikut menonton film horor yang sebagian besar adegannya tidak pantas untuk anak-anak?
Dilansir dari situs Bobo, ada beberapa dampak buruk yang bisa dialami anak-anak akibat paparan adegan film horor. Otak anak-anak akan merekam berbagai adegan yang ditontonnya, adegan-adegan menakutkan bisa membuat mereka mengalami gangguan tidur jangka panjang, bahkan hingga berminggu-minggu. Mereka juga akan sering dihantui mimpi buruk akibat kecemasan dan ketakutan yang berlebihan terhadap kegelapan. Gangguan tidur yang berdampak buruk bagi kesehatan, akan mengakibatkan perilaku kekerasan dan mudah tersinggung.
Tidakkah orang tua yang mengajak anaknya menonton film horor menyadari bahwa mereka telah meracuni otak mereka dengan adegan yang seharusnya tidak mereka tonton?
Mudah “demam”.
Orang Indonesia adalah orang yang mudah “demam” terhadap apapun yang menarik perhatiannya. Mulai dari demam media sosial, K-pop hingga film horor yang beredar akhir-akhir ini.
Tanpa memilih dan mempertimbangkan baik dan buruk, serta nilai keuntungan bagi diri mereka sendiri, mereka hanya mengikuti arus besar yang sedang tren, seperti sampah atau ikan mati yang tidak bisa melawan arus air sungai. Industri juga sangat menikmati masyarakat seperti ini, “demam” mereka adalah kesempatan untuk menghasilkan uang, kemudian terus memproduksi apa yang disukai pasar. Terus saja demam, sampai suatu saat kita menjadi budak industri hiburan.*
Editor: Achmad Zaenal M
HAK CIPTA © Partaipandai.id 2023