Jakarta (Partaipandai.id) – Hanya tinggal hitungan jam mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo langsung duduk di kursi narapidana PN Jakarta Selatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Mantan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri ini tidak sendirian. Selain itu, istrinya Putri Candrawati juga menjadi terdakwa. Ajudan, sopir dan rekan-rekannya juga dibawa ke pengadilan.
Sebanyak 11 terdakwa terlibat dalam dua kasus yang mengguncang institusi Polri, yakni tindak pidana pembunuhan berencana dan menghalangi penyidikan pembunuhan berencana atau menghalangi proses peradilan. Ferdy Sambo terlibat dalam dua kasus ini.
Terdakwa lain dalam kasus pembunuhan berencana Pasal 340 Subsidi Pasal 338 jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP adalah Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Bripka Ricky Rizal Wibowo dan Strong Maruf.
Sementara itu, terdakwa dalam perkara obstruksi peradilan adalah Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, Kombes Pol. Agus Nur Patria, Kompol Chuck Putranto, Kompol Baiquni Wibowo, AKBP Arif Rahman Arifin dan AKP Irfan Widyanto. Mereka dijerat dengan pasal pertama pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Pasal tambahan 48 ayat (1) jo Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Atau pasal utama kedua, Pasal 233 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP Subsider ke-1, Pasal 221 ayat (1) ke-2 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP ke-1. Kode.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadwalkan sidang Ferdy Sambo bersama istrinya, Bripak Ricky Rizal dan Strong Maruf, pada Senin (17/10) pukul 10.00 WIB, dipimpin majelis hakim Wahyu Iman Santoso (ketua majelis) , Morgan Simanjutak dan Alimin Thousand Sujono (anggota) . Sedangkan Bharada E akan diadili keesokan harinya, Selasa (18/10).
Untuk halangan perkara peradilan, majelis hakim dibagi menjadi dua. Sidang terdakwa Arif Rahman, Agus Nur Patria dan Hendra Kurniawan dipimpin oleh Ahmad Suhel (ketua majelis), Djuyamto dan Hendra Yuristiawan (anggota).
Kemudian, terdakwa Chuck Putranto, Irfan Widyanto dan Baiquni Wibowo, sidang dipimpin oleh Afrizal Hadi (ketua majelis hakim), Arif Muladi dan M Ramdes (anggota). Sidang untuk obstruksi keadilan dijadwalkan Rabu (19/10).
Selain menunggu keadilan bagi Brigjen J sebagai korban, sidang ini ditunggu-tunggu karena banyak hal yang belum terungkap, selama dua setengah bulan penyidikan Bareskrim Polri, termasuk penyerahan berkas ke Kejaksaan Agung RI. . Publik juga menunggu motif penembakan yang dikaburkan oleh skenario penembakan oleh “sutradara” Ferdy Sambo. Lalu, benarkah ada pelecehan seksual dan benar ada dugaan menjanjikan uang kepada pelaku pasca penembakan?
POLISI
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan, penuntasan kasus Duren Tiga, tempat berlangsungnya Tempat Kejadian Perkara (TKP) penembakan Brigadir J, merupakan pertaruhan bagi institusi dan seluruh anggota Polri untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang telah jatuh lagi sejak kejadian itu terjadi.
Sejak Desember 2021 hingga pertengahan Juli 2022, beberapa lembaga survei merilis peningkatan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Salah satu faktor peningkatan tersebut adalah rangkaian Hari Bhayangkara 2022 yang diisi dengan berbagai macam kegiatan positif yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Lembaga Survei Charta Politica pada pertengahan April lalu merilis bahwa Polri termasuk dalam tiga besar lembaga negara yang paling dipercaya masyarakat dengan persentase 7,1 persen masyarakat sangat percaya, 63,5 persen mengatakan tidak percaya. Kemudian, survei Litbang Kompas akhir Juni 2022 yang disampaikan pada puncak HUT Bhayangkara ke-76, di Malang, Selasa (5/7) menunjukkan bahwa 83,8 persen masyarakat menilai pelayanan kepolisian kepada masyarakat menjadi baik.
Namun, pasca peristiwa Duren Tiga, tren positif terkait kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin menurun.
Bagaimana tidak, sebanyak 97 personel Polri diperiksa oleh tim khusus yang dibentuk Kapolri terkait peristiwa Duren Tiga dan 35 di antaranya diduga kuat melanggar etika tidak profesional dalam menjalankan tugasnya menangani TKP Duren Tiga. .
Personel yang diperiksa berasal dari satuan kerja (satker), Mabes Polri setingkat Propam (tiga perwira tinggi), delapan perwira menengah, empat perwira satu, empat bintara, dua tamtama. Kemudian dari Satker Polda Metro Jaya sebanyak empat perwira menengah dan tiga perwira pertama. Selanjutnya dari Bareskrim Polri ada perwira menengah dan perwira pertama, masing-masing satu orang.
Dari 35 personel tersebut, sembilan di antaranya dituduh melakukan pembunuhan berencana dan menghalangi proses peradilan. Selebihnya melanggar etika dari tingkat sedang hingga pelanggaran berat.
Sejak Kamis (1/9), hingga Senin (3/10), 19 polisi yang melanggar etika menjalani sidang etik, dengan putusan berbeda, mulai dari pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), penurunan pangkat satu tahun, dua tahun hingga delapan tahun dan sanksi. cukup untuk meminta maaf.
Kemudian kepercayaan masyarakat mulai merayap kembali setelah komitmen Polri mengusut kasus tersebut, dengan membentuk tim khusus, menonaktifkan beberapa anggota dari jabatan sebelumnya, mengusut dugaan pelanggaran kode etik dan menetapkan tersangka.
Hal ini terkait dengan masalah kepercayaan publik terhadap lembaga Pori dan ini merupakan pertaruhan bersama. Oleh karena itu, ini tentu menjadi catatan penting dan saya mohon untuk benar-benar ditindaklanjuti.
sistem merit
Meski kasus Sambogate sudah selesai di tingkat penyidikan (Polri), dan memasuki tahap pembuktian di persidangan, namun kejadian ini meninggalkan catatan penting bagi perbaikan institusi Polri ke depan, terutama terkait manajemen kepolisian.
Berangkat dari isu “saudara asuh dalam kasus Sambogate” yang diangkat oleh Prof. Muradi, Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran. Bahkan, mengingatkan pihak terkait bahwa ada upaya untuk membebaskan Ferdy Sambo dari jeratan hukum.
Ada tiga jenis “kakak asuh”, yaitu orang yang masih aktif (anggota polisi), pensiunan, dan orang yang telah berjasa dibantu Ferdy Sambo dalam menangani kasus.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, budaya saudara asuh di kepolisian sudah ada sejak lama, dan itu hal yang lumrah. Hanya saja bila tidak ada kontrol (pengawasan) yang baik, akhirnya yang muncul adalah karena kepentingan pragmatis, seperti pemenuhan kebutuhan, gaya hidup hedonis, kepentingan politik, titipan kenaikan pangkat.
Ia mengamati budaya yang kental di era pemerintahan saat ini, sehingga muncul istilah Dwi Fungsi Polri. Ini adalah salah satu efek dari tidak adanya sistem merit.
Di internal kepolisian karena tidak ada jabatan, beberapa polisi ditugaskan di luar kepolisian, seperti di kementerian dan lembaga terkait. Pola ini berpengaruh di internal Polri, ketika kementerian sudah tidak membutuhkannya lagi, atau jika ada pergantian menteri, maka Polri dikembalikan ke pihak internal, akhirnya mengganggu apa yang sudah internal, sehingga mengakibatkan “ inflasi” jenderal. Banyak jenderal yang menganggur di Mabes Polri.
Para jenderal ini memiliki kapasitas dan kompetensi yang besar, sehingga mereka berusaha saling mempengaruhi untuk mendapatkan posisi yang baik.
Memang budaya “saudara asuh” di kepolisian adalah untuk pembinaan dalam hal prestasi dan pelaksanaan tugas.
Yang terjadi pada kasus Ferdy Sambo sebanyak 97 personel Polri diperiksa, sehingga istilah “kereta Sambogate” menjadi salah satu sisi negatif dari budaya saudara asuh yang lepas kendali.
Dia mencontohkan Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, mantan DivPropam Polri Karopaminal, dan AKP Irfan Widyanto, lulusan terbaik Polri yang menerima Adhi Makayasa, diprioritaskan sejak awal karena memiliki kompetensi, kapabilitas dan kualitas. Hanya saja, saat memasuki dunia kerja, pengaruh masa lalu muncul.
Bambang menggarisbawahi bahwa merit system tidak berjalan baik di kepolisian, melainkan hanya menjadi jargon tanpa bukti, seperti di era Kapolri Tito Karnavian yang populer dengan jargon Promotor, namun kemudian dipintal menjadi promosi bagi orang-orang terdekat. untuk dia.
Baik buruknya budaya saudara angkat tergantung pada kontrol. Karena tidak adanya kontrol yang ketat dan memastikan merit system berjalan secara profesional, pada akhirnya menimbulkan kepentingan pragmatis.
Sistem merit adalah proses mempromosikan dan mempekerjakan pegawai pemerintah berdasarkan kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan, bukan pada koneksi politik mereka.
Polisi sebenarnya sudah punya merit system, tapi belum diterapkan. Ada banyak payung hukum yang mengatur, mulai dari peraturan Kapolri tentang SDM, aturan terkait kenaikan pangkat dan pengisian jabatan. Akibatnya tidak ada sistem kontrol, tidak ada pembagian wewenang, tidak ada mutasi dan promosi di daerah tertentu, hingga ada istilah lulusan kuning telur, putih telur dan cangkang telur.
Pada era sebelumnya, Dewan Tinggi Kepolisian (Wanjakti) memiliki aturan untuk menetapkan bahwa kenaikan pangkat menjadi bintang tiga harus melalui prasyarat menjadi Kapolres minimal dua kali, dengan salah satu polisi bertipe A.
Bambang menegaskan, pemindahan personel Polri ke seluruh wilayah Indonesia penting untuk membangun wawasan kebangsaan, kebijakan dan pengalaman kepemimpinan.
Bambang mengingatkan, mengelola senior tidaklah mudah, pada akhirnya yang digunakan bukanlah kebijakan, melainkan kebijakan sistem. Bukan kebijaksanaan dalam kepemimpinan, tetapi kesombongan.
Salah satunya, Ferdy Sambo, menjadi Kepala Divisi Propam yang menggunakan kewenangannya, yang diakui Polri sebagai penyalahgunaan wewenang jabatan karena sistem.
Editor: Masukkan M. Astro
Redaksi Pandai 2022