Politik identitas dinilai tidak efektif merebut hati pemilih…
Yogyakarta (Partaipandai.id) – Presiden RI Joko Widodo berkali-kali menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum 2024 akan sejuk.
Pada pembukaan Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Solo, Jawa Tengah, pada 21 November 2022, Presiden berpesan agar pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat menciptakan suasana pemilu 2024 yang tenang. Kalaupun tidak memungkinkan, diupayakan agar situasi politik tetap hangat, asal tidak memanas.
Pesan serupa disampaikan Kepala Negara saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Politik Pendukung Pemerintah di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, awal Mei lalu.
Intinya, Pemilu 2024 diharapkan berlangsung dalam suasana yang sejuk, semoga menjadi momen keceriaan bagi seluruh rakyat.
Keinginan Presiden tersebut tentunya merupakan keinginan masyarakat Indonesia pada umumnya. Meski terdengar klise, namun penting untuk kita semua perhatikan agar pengalaman pemilu 2019 yang diwarnai polarisasi sosial atau perpecahan masyarakat tidak terulang kembali.
Eksploitasi identitas untuk propaganda politik atau yang disebut politik identitas merupakan “penyakit” utama yang kemunculan dan penularannya harus dicegah bersama.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, eksploitasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memiliki daya rusak yang cukup kuat terhadap persatuan dan kerukunan bangsa, bahkan terbukti memicu terjadinya tindak kekerasan.
Aryojati Ardipandanto dalam jurnalnya yang berjudul “Dampak Politik Identitas pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme” menyebutkan bahwa populisme dengan politik identitas memiliki pengaruh yang sangat kuat pada kampanye Pilpres 2019, yang dianggap mengancam persatuan dan kesatuan. bangsa.
Saling menyebut istilah “Cebong” dan “Kampret”, benturan identitas agama dan sekuler, hingga “Partai Tuhan” dan “Partai Setan” dicap seperti pada pemilu lalu, perlu dikubur dalam-dalam. sejarah kelam dan tidak perlu dihidupkan kembali di pesta. demokrasi masa depan.
Karena itu, upaya mitigasi perlu disiapkan jauh sebelum masa kampanye pemilu 2024 yang berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 akan dimulai pada 28 November 2023.
Politik identitas akan tetap digunakan
Sejumlah akademisi diprediksi masih akan menggunakan praktik pemecah belah masyarakat dengan instrumen politik identitas bel politik di dunia maya.
The Center for Innovation Policy and Governance mendefinisikan bel atau buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan untuk memperkuat dengan menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Instrumen politik identitas tetap dipertahankan karena dianggap efektif menarik suara pemilih pada pemilu 2019.
Berdasarkan pantauan Drone Emprit pada tahun 2022, diskusi politik di kalangan pengguna media sosial belum mengarah pada kepentingan adu gagasan atau program, namun masih ditujukan untuk menyerang pribadi tokoh-tokoh yang berbasis isu SARA.
Drone Emprit adalah sistem yang memantau dan menganalisis media dan platform sosial on line berbasis Mahadata atau data besar menggunakan keahlian kecerdasan buatan Dan proses belajar alami (NLP).

Pakar teknologi AI sekaligus pencipta aplikasi Drone Emprit Ismail Fahmi memprediksi politik identitas masih banyak digunakan dalam konteks negatif untuk menyerang lawan.
Pasalnya, politik identitas dianggap tidak efektif merebut hati pemilih jika hanya digunakan untuk mempromosikan pasangan calon.
“Misalnya (menyatakan) saya akan memperjuangkan kelompok ini atau kelompok itu. Itu justru akan menyempitkan dia,” kata Ismail.
Mengacu pada hasil penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang Pilkada di Yogyakarta tahun 2017, dipetakan tiga jenis strategi politik, yaitu strategi program politik, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi menilai semua pasangan calon tetap akan menyiapkan strategi yang sama di Pemilu 2024.
Meski sudah pasti akan disusun strategi program, namun jika strategi tersebut tidak mampu memberikan kepercayaan politik, pasangan calon dapat menggunakan strategi politik identitas dengan merangkul dan memanfaatkan kelompok tertentu.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Fathul Wahid mengatakan, politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda aktivisme politik yang melibatkan anggota kelompok berbasis identitas.
Mereka mengorganisir dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, dan praktik hegemonik.
Pelacakan literatur menemukan bahwa politik identitas lahir pada tahun 1970-an di Amerika sebagai gerakan melawan ketidakadilan.
Saat itu perempuan kulit hitam di Amerika yang menjadi warga negara kelas dua di bawah penindasan kulit putih memperjuangkan kesetaraan tanpa mengabaikan kepentingan bersama.
Namun, para ilmuwan di bidang politik menilai orientasi mengusung politik identitas telah berubah.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan bersama, politik identitas yang dibingkai oleh misinformasi, hoaks, ujaran kebencian, dan ejekan yang mendiskreditkan kelompok lain justru menjauhkan mereka dari keadilan dan kesetaraan.
Politik identitas dianggap sudah usang
Shafiq Pontoh, seorang praktisi media sosial yang juga Chief Strategy Officer Provetic Indonesia, tidak menampik bahwa politik identitas masih menjadi salah satu strategi yang berpeluang disiapkan oleh setiap kandidat.
Namun belum tentu strategi ini akan digunakan oleh pasangan calon karena masyarakat di tingkat lokal dan global menganggap politik identitas sudah usang dan tidak menarik lagi.
“Dunia telah bergerak ke arah kita hidup bersama di satu bumi atau istilah kerennya sekarang warga dunia, padahal kita masih mau main politik identitas,” sindir Syafiq.
Perubahan pola konsumsi informasi dari sebelum pandemi hingga pasca pandemi memaksa masyarakat untuk melek dan aktif secara digital.
Selama lebih dari dua tahun, orang mau tidak mau memanfaatkan teknologi untuk membentuk “generasi mencariyang aktif dan mampu mencari kebenaran informasi di internet. Mereka tidak lagi mudah didoktrin, apalagi disuap hoax.
Selain itu, hasil riset Provetic Indonesia terhadap jumlah perbincangan dan minat di media sosial menunjukkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia saat ini cenderung lebih tertarik dengan konten-konten inspiratif termasuk tutorial daripada konten yang berbau ujaran kebencian atau kontroversi negatif.
Meski tidak ada definisi tunggal untuk menerjemahkan istilah politik identitas, instrumen politik ini tidak cocok digunakan di negara majemuk seperti Indonesia.
Apapun pembenarannya, tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh politik identitas masih lebih besar dari keuntungannya.
Apalagi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pilkada) telah melarang keras penggunaan instrumen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau politik identitas sebagai sarana atau alat sosialisasi atau kampanye untuk diri sendiri.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
HAK CIPTA © Partaipandai.id 2023