Jakarta (Partaipandai.id) – Pengamat dari Pusat Studi Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Muh Taufiqurrohman mengatakan perlu ada sanksi yang jelas dan tegas yang diatur dalam Revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pemungutan Uang atau Barang.
“Sanksi tegas perlu diterapkan untuk memberikan efek jera, terutama kepada badan-badan amal yang menyalahgunakan dana masyarakat,” kata Taufiqurrohman di Jakarta, Jumat.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pemungutan Uang atau Barang dan PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Penyelenggaraan Pemungutan Sumbangan sudah saatnya direvisi, karena tidak mencantumkan kriminalisasi yang jelas dan juga belum memberikan efek jera terhadap adanya badan amal yang diduga menyalahgunakan dana publik,” katanya saat dihubungi. di Jakarta, Jumat.
Ia menyebutkan salah satunya adalah Pasal 8 undang-undang yang hanya memberikan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 10.000 untuk siapa saja yang mengumpulkan dana masyarakat secara tidak sah atau tanpa izin dari pemerintah. Menurutnya, vonis tersebut terlalu ringan dan tidak memperhitungkan dampak penyalahgunaan dana publik untuk keselamatan publik.
Selain itu, kata dia, perlu dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Penyelenggaraan Penghimpunan Donasi. Pasal 6 PP tersebut menyatakan bahwa badan amal berhak mengambil 10 persen dari dana yang terkumpul untuk biaya operasionalnya.
Dia mengatakan PP belum menjelaskan secara rinci sanksi dan sanksi bagi badan amal yang melanggar dan terbukti menyalahgunakan dana publik untuk keuntungan pribadi atau bahkan membiayai operasi kelompok radikal.
“Seharusnya hukuman dan denda harus ditingkatkan sesuai dengan jumlah dana yang terkumpul atau sesuai dengan dampak negatif keamanan yang ditimbulkan oleh kegiatan amal yang tidak berizin,” jelasnya.
Salah satu poin yang perlu ditambahkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 dan PP 29 Tahun 1980 adalah pasal yang mewajibkan setiap lembaga amal untuk mendapatkan izin dari kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal ini bertujuan untuk mendukung upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme.
Menurut dia, pemerintah memiliki kewenangan yang jelas untuk mengkriminalisasi lembaga amal yang menghimpun dana masyarakat dengan tujuan memperkaya diri atau mendukung kegiatan radikalisme dengan merevisi kedua peraturan tersebut.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan keterlibatan polisi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah cukup dalam memberikan izin kepada badan amal, sehingga tidak perlu melibatkan BNPT. PPATK menjalankan tugasnya menelusuri riwayat transaksi terkait dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga amal.
“Rekomendasi dari PPATK terkait temuan tersebut kemudian diberikan kepada pihak kepolisian dan BNPT untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut,” kata Ujang.
Ujang menilai pelibatan polisi dan PPATK yang diatur dalam kedua peraturan tersebut sudah tepat untuk pemberian izin kepada badan amal.
Baca juga: Ahli: Revisi UU Penagihan Uang atau Barang untuk mencegah penipuan
Reporter: Aji Cakti
Editor: Fransiska Ninditya
Redaksi Pandai 2022