Pemimpin negara itu juga bukan pesulap, yang hanya dengan jentikan jari mampu mewujudkan semua yang diharapkan warganya…
Bondowoso (Partaipandai.id) – Pemilihan presiden (pilpres) hanya berlangsung setiap 5 tahun sekali. Kita tidak boleh menuruti kemauan ego kita dengan mendukung salah satu pasangan calon “secara membabi buta”. Biasanya sikap seperti ini menimbulkan polarisasi di masyarakat dalam waktu yang cukup lama, bahkan hingga 5 tahun mendatang atau pemilihan umum mendatang.
Negeri ini dibangun dengan perjuangan, bahkan pengorbanan darah dan nyawa para leluhur ketika berperang melawan penjajah. Negara ini sudah merdeka, setelah perjuangan nenek moyang bangsa ini mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan salah satu ajang bangsa ini untuk menjaga warisan leluhurnya. Pemilihan umum untuk memilih pemimpin, tidak boleh menyimpang dari tujuan mulianya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Semangat menjaga persaudaraan selamanya atau selawase bersaudara harus menjadi dasar seluruh komponen bangsa dalam menjaga warisan berharga dari leluhur ini. roh saudara laki-laki dan saudara perempuan merupakan landasan terciptanya keamanan, ketertiban, dan ketentraman agar seluruh komponen bangsa bersatu padu membangun negara.
Roh saudara laki-laki dan saudara perempuan Hal itu kembali dilontarkan dan diingatkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menghadiri acara Peringatan 25 Tahun PKB NU Abad ke-1 di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Minggu (23/7/2023).
Sumber masalah yang mencabik-cabik perasaan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam konteks pemilihan presiden biasanya didorong oleh dukungan total pendukung terhadap pasangan calon tertentu, sehingga melemahkan nalar dan hati nurani. Akhirnya sikap tersebut memunculkan perilaku menghalalkan segala cara agar pasangan calon dukungan memenangkan pilpres.
Di era teknologi informasi saat ini, seperti yang juga diingatkan oleh Presiden Jokowi, media sosial menjadi ajang dukungan dengan menghalalkan segala cara, seperti menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, fitnah, dan lain-lain.
Pemikiran bahwa calon yang kita dukung “harus” menang hanya ada di kepala (mind), jangan sampai ke hati. Ketika pikiran “harus” menang terlintas di hati, jika pasangan calon yang kita dukung tidak menang, seolah-olah negeri ini akan tamat.
Dalam peribahasa yang akrab dalam budaya dan bahasa Jawa, ada peribahasa yang baik untuk mengerem pemikiran bahwa calon kita “harus” menang, yaitu, “ngono yo ngono, ning ojo ngonaTerjemahan bebasnya, “Maka (mendukung) itu (mendukung), tapi jangan sampai (sikapnya)”.
Pemimpin bukanlah penyihir
Menghadapi pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang rakyat bergembira, paradigma berpikir bahwa tidak ada manusia yang sempurna bisa menjadi dasar nurani kita dalam menyikapi politik praktis setiap 5 tahun sekali.
Masyarakat sebagai pemilih jangan sampai terbuai dengan mimpi bahwa capres dan cawapres yang kita dukung adalah yang paling sempurna. Setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pemimpin negara juga bukan pesulap, yang hanya dengan jentikan jari mampu mewujudkan semua yang diharapkan warganya, termasuk kemakmuran atau kesejahteraan.
Buang jauh mimpi bahwa jika capres dan cawapres yang kita dukung menang dalam pilkada maka hidup kita akan sejahtera, maka kita akan berjuang “hidup mati” agar pasangan capres itu harus menang. Hadapi pemilihan presiden dan wakil presiden ini dengan santai. Selalu pegang pemikiran dan sikap rasional dalam menyatakan dukungan.
Kami yakin semua pasangan calon pemimpin negeri ini adalah orang-orang yang mumpuni dalam praktik kepemimpinan.
Kualitas semua bakal calon yang kini meramaikan pasar pilpres tidak seperti kita yang belum tentu mampu memimpin di tingkat RT.
Hal praktis yang bisa dilakukan agar kita tidak terjerumus dalam sikap menghalalkan segala cara saat mendukung pasangan presiden dan cawapres adalah selalu berpikir kritis.
Selain kritis, kita juga harus selalu menjaga sikap apatis terhadap konten yang kita terima melalui media sosial terkait informasi negatif calon presiden dan wakil presiden yang tidak kita dukung. Benarkah isi informasi negatif tersebut? “Jangan hanya memfitnah”. Pertanyaan ini akan menyelamatkan kita dari salah atau dalam konteks agama sebagai dosa.
Jika kita berpegang teguh pada nilai-nilai agama, ada dua konsekuensi yang mungkin terjadi jika kita tidak memiliki pemikiran kritis dan apatis terhadap informasi negatif yang tersebar, yaitu menghadapi tuntutan hukum dari negara karena menyebarkan kebencian dan dosa yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di kemudian hari.
Yang mungkin tidak disadari oleh mereka yang mudah terprovokasi oleh informasi fitnah tentang capres dan cawapres tertentu adalah seolah-olah kita sedang membela agama. Dengan menyebarkan fitnah tentang calon yang tidak kita dukung, seolah-olah kita telah memilih perbuatan mulia dengan iming-iming pahala yang berlipat. Nyatanya, kita terjebak dalam ilusi perbuatan mulia, padahal sebenarnya penuh dengan dosa.
Kembali ke nilai dasar dan luhur warisan leluhur yaitu “seduluran”, agama mengajarkan kita untuk berhati-hati dengan informasi tentang saudara kita. Agama mengingatkan kita dengan perumpamaan seperti “memakan bangkai saudaranya” jika kita menggunjing atau menggosipkan keburukan saudara kita.
Bergosip saja sudah berstatus memakan bangkai saudara kandung, apalagi jika kita terlibat dalam perilaku fitnah. Agama mengajarkan kita untuk selalu berkata “na’udzubillahi mindzakik(Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu) jika saya mendapatkan informasi negatif.
Sedulur selawase. Mari kita jalani episode demi episode pemilihan presiden dan wakil presiden ini dengan pikiran dan sikap yang ceria. Jika kita mewarisi negara ini dari nenek moyang kita tanpa kita ikut berperang melawan penjajah, mari kita juga mewariskan sesuatu yang indah kepada anak cucu kita di masa depan.
Setidaknya anak cucu kita mengenang kita sebagai generasi yang turut menjaga nilai-nilai Pancasila. Begitu juga dengan anak cucu kita, kelak mereka juga akan mewariskan nilai-nilai luhur yang bersumber dari Pancasila kepada anak cucunya.
Kita jangan mudah terpecah belah, dengan berpegang teguh pada nilai “seduluran selawase”.
HAK CIPTA © Partaipandai.id 2023