Yogyakarta (Partaipandai.id) – Sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Dr Mukhijab menilai kasus kekerasan terhadap anak yang berujung pada kematian, seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, disebabkan oleh akses anak ke media sosial yang tidak terbatas.
“Sekarang banyak anak-anak yang bebas mengakses informasi apapun di media sosial yang kemudian mereproduksi perilaku seperti yang mereka lihat,” kata Mukhijab saat dihubungi di Yogyakarta, Sabtu.
Menurutnya, belakangan ini orang tua justru memfasilitasi anaknya dengan smartphone atau gadget tanpa melakukan kontrol atau pembatasan apapun.
Baca juga: Presiden menekankan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk mencegah bullying
Padahal, kata Mukhijab, anak-anak memiliki kecenderungan untuk mereproduksi apapun yang mereka dapatkan di media sosial, termasuk berbagai informasi negatif seperti kekerasan hingga pornografi.
“Ada semacam reproduksi perilaku yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja dari apa yang mereka lihat baik di Youtube maupun media sosial lainnya. Mereka ingin melihat secara nyata agar bisa juga dilakukan di dunia nyata,” ujarnya.
[ruby_related heading=”More Read” total=5 layout=1 offset=5]
Menurutnya, fenomena bullying atau ‘bullying’ sudah ada sejak lama, namun semakin diperparah dengan munculnya media sosial yang bisa diakses oleh anak-anak tanpa ada batasan.
Rasa empati terhadap orang lain, budi pekerti atau budi pekerti yang baik, serta aspek moral yang seharusnya ditanamkan pada anak, kata dia, tercabut ketika asupan yang mereka terima sebagian besar bersumber dari media sosial.
“Mereka bisa mengakses apa saja. Di sini masalahnya karena anak-anak tidak bisa membedakan konten yang pantas dan konten yang tidak pantas menurut usia mereka,” ujarnya.
Masyarakat, termasuk generasi muda, dan anak-anak di Indonesia, katanya, rata-rata mengakses media sosial melalui perangkat mereka 8 jam sehari.
“Karena mereka lebih banyak kontak dengan smartphone dan mengaksesnya, pengaruh yang dominan adalah smartphone,” ujarnya.
Menurutnya, orang tua dan pendidik di sekolah merupakan benteng utama untuk menyelamatkan anak dari terpaan negatif media sosial.
Meski kontak teknologi informasi merupakan kebutuhan seiring dengan perkembangan zaman, menurut Mukhijab, orang tua tidak boleh memberikan smartphone lalu membiarkannya begitu saja tanpa memberikan kontrol dan pendampingan.
“Saya pikir peran orang tua paling penting karena mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan anak-anak mereka,” katanya.
Baca juga: Cyberbullying, Penyebab dan Cara Mencegahnya
Baca juga: Mengatasi ancaman kekerasan terhadap anak Indonesia
Baca juga: KemenPPPA minta orang tua ajari anak menghindari ancaman kekerasan
Wartawan: Luqman Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Redaksi Pandai 2022