Jakarta (ANTARA) – Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar meminta maaf kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) atas pernyataannya yang bisa disalahartikan dalam kasus Mardani H. Maming.
“Saya menarik pernyataan saya yang bisa disalahartikan dan saya minta maaf. Pernyataan ini adalah pernyataan umum dan normatif,” kata Fickar saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan, pernyataannya terkait potensi pengenaan pasal pencucian uang (TPPU) dalam kasus Mardani tidak pernah bermaksud menyerang PBNU.
Dia menegaskan, pernyataan itu bersifat umum dan normatif, yakni jika kasus korupsi yang diduga melibatkan Mardani dijerat pasal TPPU, pihak penerima aliran dana juga bisa terseret ke dalam kasus tersebut.
“Saya tidak pernah menyerang PBNU. Saya hanya menjawab pertanyaan secara normatif bahwa siapa pun yang menerima sesuatu yang diduga dari hasil kejahatan dapat digolongkan sebagai peserta,” jelasnya.
Baca juga: KPK menggeledah apartemen Mardani Maming di Jakarta Pusat
Oleh karena itu, Fickar menegaskan pernyataan tersebut merupakan respon umum dan normatif tanpa bermaksud menyerang pihak manapun, khususnya PBNU.
“Jawaban itu hanya bersifat umum dan normatif, tidak pernah ditujukan kepada siapa pun, apalagi PBNU, di mana saya juga sebagai staf. Jadi, itu jawaban hanya sebagai jawaban atas pertanyaan normatif. Oleh karena itu, jika PBNU keberatan dengan normatif. jawab, saya mohon maaf karena tidak ditujukan kepada PBNU,” ujarnya.
Fickar mengaku pernah menjadi staf Lembaga Bimbingan dan Bantuan Hukum PBNU pada masa kepengurusan KH Hasyim Muzadi.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU Abdul Qodir mengimbau semua pihak menghormati proses hukum yang dilakukan Mardani H. Maming dengan menerapkan asas praduga tak bersalah.
“Akademisi, KPK, dan penegak hukum lainnya, serta masyarakat perlu turut serta menegakkan asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah tidak boleh sekadar jargon,” kata Qodir.
Baca juga: Wakil Sekjen PBNU mengajak semua pihak menghormati proses hukum Mardani Maming
Himbauan tersebut juga dilontarkan Qodir untuk menanggapi pernyataan Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar terkait potensi pengenaan pasal TPPU dalam kasus Mardani.
Qodir mengatakan pernyataan itu bisa menyeret PBNU dan menyerang ketua umum dan tokoh kelembagaan PBNU, sehingga Fickar perlu mengoreksi pernyataannya.
Sejauh ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa sembilan saksi terkait kasus yang menjerat Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming periode 2010-2018. Mardani diduga terlibat kasus suap terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
“Sejauh ini, sekitar sembilan orang telah dipanggil sebagai saksi, terdiri dari pihak swasta, pegawai negeri, dan pengacara,” kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Kamis (30/6).
Namun, Ali tidak merinci identitas para saksi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan pengumpulan barang bukti dalam penyidikan kasus tersebut tetap berjalan meski Mardani telah mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mardani mendaftarkan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (27/6) dengan mengklasifikasikan perkara tersebut sah atau tidak. Permohonan praperadilan Mardani didaftarkan dengan nomor perkara 55/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL. Karena pemohon adalah Mardani dan termohon adalah penyidik KPK cq KPK.
Baca juga: KPK sudah memeriksa sembilan saksi terkait kasus Mardani Maming
Baca juga: LPBHNU Beri Bantuan Hukum untuk Mardani H. Maming
Reporter: Tri Meilani Ameliya
Editor: Fransiska Ninditya
HAK CIPTA © ANTARA 2022