Yogyakarta (Partaipandai.id) – Dalam berbagai kesempatan, generasi muda selalu didorong untuk kreatif dan produktif dalam bekerja. Pemerintah menilai energi mereka cukup besar sehingga perlu disalurkan untuk ikut membangun perekonomian bangsa yang berbasis karya kreatif, adaptif, dan inovatif.
Terbukti, berbagai karya seni, konten kreatif dengan memanfaatkan platform digital, hingga berbagai aplikasi yang dikembangkan lahir dari generasi ini.
Namun jangan lupa, kampanye untuk mendorong generasi muda agar produktif dan kreatif dalam berkarya perlu diimbangi dengan pendidikan agar mereka sadar akan pentingnya melindungi setiap karya yang diciptakan, baik benda maupun ide.
Tujuannya agar setiap karya atau gagasan yang dihasilkan memiliki kepastian hukum, tidak diklaim, dicuri, atau ditiru oleh orang lain.
Terkait perlindungan ini, pemerintah telah menyiapkan instrumen berupa dokumen atau sertifikat Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang dapat dimohonkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Hak Kekayaan Intelektual didefinisikan sebagai hak untuk menikmati secara ekonomis yang timbul dari hasil pemikiran (kreativitas) yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna bagi manusia.
[ruby_related heading=”More Read” total=5 layout=1 offset=5]
HKI terbagi menjadi dua, yaitu Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, yang terdiri dari merek, paten, desain industri, indikasi geografis, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Panitia Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Kesowo saat berkunjung ke Kampus UGM pada tahun 2021 menekankan pentingnya pemahaman HKI bagi generasi muda.
Oleh karena itu, mantan Menteri Sekretaris Negara Kabinet Gotong Royong itu memandang wawasan HAKI perlu diajarkan lebih sistematis di perguruan tinggi.
Harapannya, HKI tidak hanya diajarkan di fakultas hukum, tetapi juga di fakultas-fakultas yang pengetahuan dan keahlian mahasiswanya menjadi sumber kreasi, penemuan, dan pengembangan seni, budaya, dan teknologi.
Baca juga: Menjaga keberuntungan sektor ekonomi kreatif sejalan dengan disahkannya PP No. 24/2022
Sengketa pekerjaan dan merek dagang
Sengketa merek seperti yang terjadi antara perusahaan kecantikan MS Glow dan PStore Glow cukup menjadi pelajaran bahwa pendaftaran HKI ke DJKI saat bisnis akan dijalankan sangatlah penting.
“(Perselisihan merek) antara MS Glow dan PS Glow ini tuntutannya miliaran. Ini contoh lalai dan lalai dalam mendaftarkan hak intelektual kita,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly saat berkunjung ke Yogyakarta. beberapa waktu lalu.
Tidak hanya kedua merek tersebut, masih banyak contoh kasus sengketa merek lainnya yang muncul setelah bisnis mengalami perkembangan yang pesat.
Pada April 2021, Gudang Garam mengajukan gugatan terhadap Gudang Baru dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Gugatan itu diajukan karena merek dan lukisan milik pabrik rokok asal Malang itu dianggap mirip dengan merek Gudang Garam.
Selain terkait merek, kasus pelanggaran hak cipta atas lukisan juga terjadi di Indonesia.
Pertengahan tahun 2007, pelukis Bali, I Nyoman Gunarsa, mengadu ke Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan perhatian khusus pada kasus pelanggaran hak cipta terhadap objek lukisan Gunarsa, yang merupakan maestro seni lukis Indonesia.
Kasus bermula dari ditemukannya delapan lukisan yang diduga palsu di Cellini Designs dan Denpasar Interiors karya Hendra Dinata.
Selanjutnya, dari hasil penyidikan, penuntutan, dan persidangan, salah satu terdakwa dalam kasus tersebut, I Made Suwitha, dinyatakan bersalah membubuhkan tanda tangan palsu pada lukisan yang mirip dengan karya Nyoman Gunarsa.
Baca juga: PP Ekonomi Kreatif harus melibatkan pemerintah daerah dalam pengelolaan kekayaan intelektual
Daftar dulu sebelum populer
Belajar dari kasus yang disengketakan tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengingatkan agar pendaftaran HKI tidak boleh ditunda-tunda dan jangan menunggu karya atau merek yang diciptakan populer di masyarakat.
Jika suatu saat karya atau merek produk yang dibuat menjadi populer tetapi pemiliknya gagal mendaftarkan HKI, maka berpotensi untuk ditiru dan dikenali oleh orang lain.
Senada dengan Menkumham, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Prof Agus Burhan juga menyarankan agar pemilik karya segera mendaftarkan HKI sebelum membahas nilai sebuah karya.
“Saya kira sebelum karya tersebut dinilai secara ekonomis, agar tidak menjiplak orang lain, karya tersebut harus dilindungi terlebih dahulu,” ujarnya.
Burhan melihat banyak seniman yang karyanya kurang terlindungi karena pendidikan tentang pentingnya HKI belum tercapai. Akibatnya, banyak karya seni yang dijiplak namun kemudian sulit dilegalkan.
Oleh karena itu, mahasiswa dan dosen ISI terus didorong untuk mendaftarkan paten untuk setiap karya seni, teknologi, atau ide yang dihasilkan.
Selain jurnal, paten atau hak atas kekayaan intelektual (HKI) dapat menjadi bukti suatu karya yang dilaporkan oleh perguruan tinggi kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) setiap semester.
Mengutip situs resmi DJKI, ditegaskan tidak ada lagi cerita kesulitan mendaftarkan hak cipta.
Kreator dapat melindungi ciptaannya secara otomatis melalui Pendaftaran Hak Cipta Otomatis (POP HC) dengan mengakses situs copyright.dgip.go.id.
POP HC adalah sebuah sistem yang diciptakan untuk mempercepat proses persetujuan hak cipta yang sebelumnya memakan waktu kurang lebih satu hari (one day service) menjadi hitungan menit. Sistem ini diluncurkan bersamaan dengan pencanangan tahun 2022 sebagai Tahun Hak Cipta.
Sebelum 2015, pemrosesan HKI memakan waktu rata-rata sembilan bulan.
Selanjutnya berkembang lebih jauh pada tahun 2015, lamanya waktu perekaman dikurangi menjadi 14 hari, hingga akhirnya berhasil menjadi satu hari pada tahun 2018.
Menurut Menkum HAM, setelah aplikasi POPHC diluncurkan pada 2022, perekaman hanya membutuhkan waktu 10 menit.
Menjadi agunan pinjaman
Pada 12 Juli 2022, pengaturan kekayaan intelektual sebagai jaminan fidusia telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif.
PP ini mengatur skema pembiayaan yang dapat diperoleh pelaku ekonomi kreatif melalui bank berbasis kekayaan intelektual dan lembaga keuangan non bank.
Sebuah lembaga keuangan akan didirikan untuk menentukan nilai produk kekayaan intelektual.
“Semakin tinggi nilai dan potensi ekonomi dari karya cipta, merek atau paten yang dimiliki, maka nilai pinjamannya akan semakin tinggi,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna.
Regulasi tersebut tentunya menjadi angin segar bagi para pemilik kekayaan intelektual yang jumlah pendaftarnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
DJKI Kemenkumham mencatat tren pendaftaran merek dan pendaftaran hak cipta semakin meningkat.
Berdasarkan catatan DJKI hingga tahun 2022, pandemi COVID-19 membuat perekaman kreasi berupa konten video, karya tulis, dan permintaan perekaman program komputer meningkat tajam. Pencatatan karya dalam bentuk buku saja sudah mencapai 15 ribu lamaran.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mengkaji prospek dan kelayakan hak atas kekayaan intelektual sebagai jaminan pinjaman kepada perbankan, terutama terkait dengan masalah valuasi, ketersediaan pasar sekunder, penilaian atas likuidasi hak kekayaan intelektual, hingga infrastruktur hukum untuk pelaksanaan hak kekayaan intelektual.
Kehadiran sistem HKI tidak hanya memberikan keyakinan atas kerja keras dan karya anak bangsa untuk diakui dan dihormati, tetapi juga memberikan perlindungan atas inovasi-inovasinya.
Instrumen tersebut juga memberikan stimulus atau insentif bagi terciptanya karya-karya generasi muda yang lebih banyak, lebih baik, dan lebih beragam.
Jadi, jangan hanya terus berkreasi, tapi lupa mendaftarkan hak kekayaan intelektual.
Editor: Joko Susilo
Redaksi Pandai 2022