Jakarta (Partaipandai.id) – Wakil Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan Penyuluhan PBNU, Abu Rokhmad mengatakan, living law dalam Rancangan KUHP (RKUHP) tidak hanya terbatas pada hukum adat, tetapi mencakup kegiatan yang berkaitan dengan agama.
“Kita juga harus membahas, misalnya, kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kebiasaan beragama yang juga perlu diperhatikan. Ini berarti bahwa hukum yang hidup tidak sebuah sich hanya tentang hukum adat,” kata Abu dalam diskusi daring di Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema “RUU KUHP: Bentuk Keadilan Hukum Indonesia” yang dipantau di Jakarta, Senin.
Menurutnya, dalam masyarakat terdapat banyak khazanah hukum yang hidup. Jadi, lanjut Abu, jika RKUHP hanya membahas living law tentang hukum adat, seolah menghilangkan living law lain yang ada di masyarakat.
“Ini juga perlu menjadi catatan bersama kita agar RKUHP memberikan perhatian yang sama terhadap living law yang ada di masyarakat kita,” ujarnya.
Mengenai kedudukan peraturan daerah (Perda) di masyarakat dan kaitannya dengan pelaksanaan RKUHP ke depan, Abu mengatakan undang-undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Perda. Namun, dia menilai Perda juga harus diakui sebagai produk hukum ketika sudah melalui proses pembahasan di DPRD.
“Meskipun nanti mungkin perlu harmonisasi sinkronisasi dan sebagainya,” ujarnya.
[ruby_related heading=”More Read” total=5 layout=1 offset=5]
Ia kemudian meluruskan bahwa yang namanya perda syariah itu tidak ada, melainkan perda yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan agama.
“Jadi sesuai konteks masing-masing daerah, kebutuhannya seperti apa,” ujarnya.
Secara umum, terkait RKUHP, kata Abu, PBNU tidak hanya fokus pada 14 isu krusial, tetapi pada semua pasal dalam RKUHP. Ia juga berharap RKUHP yang menyisakan 14 isu krusial ini bisa segera disahkan.
“Memang ini harus selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama, kenapa? Lebih dari apa yang tidak disepakati, itu disepakati,” katanya.
Namun, dia mengingatkan pemerintah bahwa masukan dari masyarakat tentang pasal-pasal penting dalam RKUHP juga harus diserap oleh pemerintah, sehingga pada akhirnya akan tercipta KUHP yang khas Indonesia.
“Memang, seberapapun mereka tidak setuju atau protes, itu harus dilayani oleh Pak Wamen (Wamen Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej) untuk mendapatkan rumusan yang benar-benar diterima oleh masing-masing pihak dengan baik,” kata Abu.
Sebelumnya dalam diskusi, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menjelaskan bahwa hukum yang hidup di masyarakat hanya digunakan untuk pelanggaran ringan yang tidak diatur dalam RKUHP.
Ia mengatakan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat memiliki empat ‘pagar’ yang harus diterapkan, yaitu harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, sesuai dengan hak asasi manusia (HAM), dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum. diakui oleh bangsa-bangsa yang berada di Indonesia. dunia.
“Jadi pagarnya banyak. Tidak (bisa langsung diterapkan). Padahal yang tertuang di Perda hanya dalam konteks hukum positif yang hidup di masyarakat ini,” ujar pria yang akrab disapa Eddy ini.
Reporter: Melalusa Susthira Khalida
Redaktur: Agus Setiawan
Redaksi Pandai 2022