Konon aset tersebut sudah lama berpindah tangan menjadi milik pengusaha Malaysia.
Jakarta (ANTARA) –
Pengamat kebijakan publik Lutfil Hakim mendorong Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berdialog dengan obligor BLBI untuk mencapai kesepakatan pembayaran.
“Satgas BLBI harus berdialog dengan obligor. Harus disepakati berapa yang harus dibayar, termasuk mekanisme pembayarannya,” kata Lutfil dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (4/7) malam.
Berdasarkan data Lembaga Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disebutkan nilai yang dikejar Satgas BLBI adalah Rp. 110,45 triliun. Namun, hingga saat ini dana yang baru saja disita Satgas BLBI sebesar Rp22 triliun.
Menurutnya, upaya perdata untuk mengembalikan aset BLBI belum mampu memaksa obligor untuk melunasi kewajibannya.
Disebutkan pula bahwa ada dua lembaga serupa yang telah dibentuk pemerintah, yaitu BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan PPA (Perusahaan Pengelola Aset).
“Segalanya tidak berhasil,” kata Lutfil.
Upaya Satgas BLBI menagih piutang negara dari sejumlah obligor, kata dia, menuai beragam pandangan.
Dia mencontohkan penyitaan aset senilai Rp 2 triliun milik PT Bogor Raya Development (BRD) dan PT Bogor Raya Estate (BRE) terkait dugaan kepemilikan Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono, dua pemilik PT Bank Asia. Pacific (Aspac) di Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Padahal, berdasarkan informasi yang diterima Lutfil, baik lapangan golf Bogor Raya maupun hotel Novotel dan Ibis Style tidak ada hubungannya dengan Bank Aspac maupun Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.
“Dikatakan aset tersebut sudah lama berpindah tangan menjadi milik pengusaha Malaysia. Ini lucu dan berpotensi melanggar hukum,” katanya.
Lutfil berharap Satgas BLBI dapat memberikan kepastian kepada obligor mengenai jumlah utangnya yang harus segera dilunasi.
Reporter: Syaiful Hakim
Redaktur: D.Dj. Kliwantoro
HAK CIPTA © ANTARA 2022