Pengamat menyebut budaya militeristik masih melekat di tubuh Polri

Jakarta (Partaipandai.id) – Pengamat Polri dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menanggapi nota pembelaan Arif Rachman yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi Polri berakar pada rantai komando, karena budaya militeristik masih melekat pada masyarakat sipil tersebut. institusi.

Bambang saat dihubungi Partaipandai.id di Jakarta, Sabtu, mengatakan apa yang disampaikan Arif Rachman dalam nota pembelaannya sudah biasa, bahwa perintah atasan seolah menjadi batu sandungan yang harus dijalankan tanpa pertimbangan yang logis.

“Artinya, budaya militeristik masih melekat pada institusi sipil ini. Hubungan komando masih menjadi kebiasaan meskipun sebagai lembaga sipil kepatuhan hanya pada aturan atau SOP, tidak hanya pada perintah lisan dari atasan,” kata Bambang.

Bambang mengatakan, meski secara kelembagaan organisasi Polri telah dipisahkan dari TNI sejak 1998, budaya militer TNI masih melekat pada kepolisian hingga saat ini.

Ia menilai reformasi Polri belum pernah dilakukan dengan baik, sehingga budaya militeristik masih ada hingga saat ini.

“Formasinya masih sama, format aturannya masih militeristik, akibatnya budayanya masih militeristik,” ujarnya.

Baca juga: Arif Rachman Arifin divonis satu tahun penjara

Tak hanya itu, Bambang melihat kewenangan besar Polri yang diberikan oleh negara melalui UU No. 2 Tahun 2002 menyebabkan Korps Bhayangkara kini lebih angkuh dibandingkan saat bergabung dengan ABRI.

Saat masih di ABRI ada kontrol dari Panglima ABRI dan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).

“Setelah pemisahan saat ini, Polri berada langsung di bawah Presiden, akibatnya adalah apa yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat saat ini,” ujarnya.

Menurut Bambang, negara harus merasionalisasi kewenangan Polri yang dinilainya terlalu besar.

“Karena negara yang memberikan kewenangan kepada Polri, negara juga yang bisa merasionalkan kewenangan Polri yang sudah super besar,” jelasnya.

Untuk merasionalkan kewenangan Polri, langkah yang dapat dilakukan adalah, pertama, mempercepat pembentukan undang-undang keamanan negara, merevisi undang-undang Polri, membentuk nomenklatur baru (name tag) untuk kementerian keamanan, dan penguatan eksternal. pengawasan seperti Kompolnas.

Tentu saja, kata Bambang, cara ini akan mendapat perlawanan dari pihak kepolisian yang ingin mempertahankan status quo, zona nyaman dari besarnya kewenangan yang dimiliki.

Baca juga: Arif mengatakan, Sambo marah ketika Tim Investigasi Khusus menyelidiki TKP tanpa izinnya

Yang penting adalah apakah negara berani mengambil risiko menghadapi perlawanan Polri. Jika tidak berani mengambil resiko melakukan perubahan untuk membatasi kewenangan polisi di kemudian hari, bisa jadi blunder bagi negara.

“Untungnya kalau Presiden terpilih punya visi negarawan, kalau hanya punya visi kekuasaan, polisi bisa menjadi alat kekuasaan yang sangat efektif melalui otoritas besar ini,” ujarnya mengingatkan.

Dalam nota pembelaan yang dibacakan Arif Rachman, mantan Wakaden B Romapaminal Divpropam Polri, yang kini menjadi tersangka penghambat penyidikan perkara pembunuhan Brigadir J (penghalang peradilan), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (3/ 2), menyatakan bahwa budaya organisasi Polri berakar pada rantai komando, hubungan berjenjang yang disebut relasi kuasa bukan sekedar ungkapan tetapi pola hubungan yang begitu nyata sehingga memberikan batasan yang tegas antara atasan dan bawahan.

Kata Arif, pola seperti ini kadang menumbuhkan penyalahgunaan keadaan oleh atasan terhadap bawahan yang rawan terjadi penyalahgunaan.

Reporter: Laily Rahmawaty
Editor: Adi Blueardi
HAK CIPTA © Partaipandai.id 2023

Sumber

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *